KORUPSI, MORALITAS DAN KARAKTER BERAGAMA
Johanis Haba
Korupsi
Korupsi
(Corruptio, kata Latin) atau “Corrumpere” berarti “rusak, busuk, menyogok,
menggoyahkan dan memutarbalik.“ Atau, korupsi juga berarti “perilaku
pejabat/individu dalam jabatan dan peran tertentu secara tidak wajar/illegal,
untuk memperkaya diri atau memperkaya orang yang dekat dengan mereka, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Tentang
praktik korupsi di Indonesia, Mackie & Maclntyre berpendapat bahwa, Korupsi
yang sungguh merajalela, ikut merusak tatatan bernegara dan bermasyarakat,
Dampak negatif terlihat pada turunnya investasi swasta, terhalanginya
pertumbuhan ekonomi, tertahannya tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita,
tingginya tingkat kematian bayi sebab biaya kesehatan mahal, terlambatnya
proses pemberantasan buta huruf, dan terhambatnya kebijakan pembangunan ekonomi
(Lesmana 2009, 123).
Klitggart
(2002) merumuskan faktor penyebab korupsi dengan formulasi berikut: “C=M=D=A.
C+corruption, M+monopoly of power, D+direction by officials, dan
A=Accountabi1ity. Klitggart lebih lanjut mengelaborasi rumusannya dengan
eksplikasi berikut; tatkala monopoli kekuasaan dan otoritas pejabat terlalu kuat,
dan akuntabilitas dan wewenang untuk menata rendah, maka terbuka peluang untuk
terjadi penyelewengan. Dalam sejarah republik ini, inisiatif serius untuk
memberantas korupsi sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Melalui Undang-Undang Anti Korupsi Tahun 1957, Soekarno dan pemerintahannya pun
gagal untuk membasmi praktik korupsi
Niat baik politik itu berjalan terus hingga masa pemerintahan Soeharto,’
yang selama tiga dekade tercatat mencapai “prestasi” tersendiri di sector
penyelewengan keuangan negara. Pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono (SBY)
meneruskan perjuangan untuk memerangi korupsi dengan membentuk lembaga Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) pada tahun 2005, disusul dengan pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2002. KPK dcngan status “super body” itu pun
sulit untuk mcmberantas praktik korupsi yang sangat berkembang.
Korupsi
dari perspektif kultural, baik karena “individual collectivism” dan
“institutional collectivism” ikut mendorong terjadinya korupsi, apalagi bagi
individu atau kelompok ini yang tidak mempunyai pegangan nilai positif yang
kuat. Bentuk-bentuk korupsi bersifat universal dan dipraktikkan di mana saja
termasuk di Indonesia. Secara umum format-format korupsi itu dapat dibagi dalam
6 (enam) isu, yakni
1.
Penyalahgunaan wewenang
(misappropriation) di berbagai lapisan birokrasi, dan di sektor swasta oleh
para pejabat yang diberikan tanggung jawab menangani sebuah program/kegiatan.
2.
Pemerasan (extortion), pelaku memeras korban
melalui berbagai alasan dan motivasi, dengan mempergunakan regulasi yang
berlaku atau dengan cara-cara ilegal.
3.
Penyuapan (bribery) meliputi pengurangan
pajak dan pemerasan untuk memperlancar urusan urusan para pihak yang
berkepentingan.
4.
Korupsi dengan nilai yang kecil (petty
corruption) atau dengan nilai yang besar (grand corruption). Dua bentuk korupsi
ini dilakukan oleh pihak-pihak yang terlihat dalam wewenang atau tanggungjawab
tertentu.
5.
Penggelapan (embezzlement), melalui
penggelapan atau mengambil uang/harta/dokumen yang bukan milik pelaku untuk
kepentingan pribadi/ kelompok.
6.
Pelindungan (patronage), peran relasi
“patron-klien” untuk menghindari hukuman, memeroleh jabatan, posisi dan
pekerjaan yang direkrut tidak berdasarkan prinsip meritokrasi (penghargaan/capaian)
tetapi dilakukan di atas garis agama, suku, pertemanan, dst.
Lembaga Agama dan Korupsi
Di
lingkungan organisasi keagamaan, dugaan penyelewengan di Kementerian Agama
terhadap dana umat dan korupsi anggaran percetakan Al Quran, dapat dijadikan
indikator sekaligus bukti bahwa di lembaga yang semestinya “bebas” virus
korupsi ternyata menjadi persemaian korupsi. Di kalangan gereja-gereja
Protestan pun pernah menghadapi kasus penggelapan harta milik gereja hingga
berurusan ke tingkat peradilan, yang melibatkan pada pemimpin umat dan lembaga
keagamaan. Kasus-kasus peneyelewangan bersifat pidana ini ada yang sudah
memiliki kekuatan hukum tetap. Hal
ini berarti bahwa peranan lembaga-lembaga keagamaan sejatinya belum maksimal
dalam menekan angka korupsi.
Upaya
melemahkan peranan KPK akhir-ahkir ini, menjadi bukti bagaimana kuatnya virus
korupsi di negeri ini. Perseteruan antara KPK-Polri untuk menangani kasus
“pengadaan alat simulator” Polri sudah menjadi bukti untuk masyarakat, bahwa
belum ditemukannya kesatuan konsepsi dan aksi dari berbagai aparat penegak
hukum di Indonesia, untuk dengan tegas memberantas praktik korupsi. Pada sisi
positif, dukungan yang datang dari berbagai pihak untuk mendukung eksistensi
dan peranan KPK memberikan sinyal bahwa: masih ada individu dan organisasi di
Indonesia yang resah dengan praktik korupsi. Mantan Ketua PGI, S.A.E. Nababan
menyebutkan bahwa, “Gereja juga ikut bersalah atas keadaan negeri ini,” sebab
gereja-gereja di Indonesia ada dalam sistem yang selama ini tidak mempedulikan
manusia. Lebih jauh Nababan menegaskan bahwa “Gereja terperosok juga ke dalam
praktik- praktik suap, dimanjakan oleh penguasa atau ikut terintimidasi”.
Gereja Katolik tegas mengulangi sikapnya
bahwa, “korupsi bukan sekedar merugikan negara, melawan hukum negara, egois dan
lain sebagainya, tetapi juga memiliki konsekuensi pada mendustai Tuhan
sendiri”. Pihak agama Islam melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah juga menunjukkan sikap menentang terhadap praktik korupsi. Agama
Islam tidak toleran rerhadap para koruptor karena dampak yang ditimbulkannya,
seperti rusaknya mental bangsa, mundurnya perekonomian, dan tidak berdayanya
hukum. Qrganisasi NU dan Muhammadiyah mengusulkan kepada pemerintah untuk menghukum
mati para koruptor, sebab mereka adalah penghianat negara. Hukum terberat bagi
para koruptor adalah jenazah mereka tidak akan disholatkan”.
Persimpangan jalan
Pembentukan
“Komisi Pemberantasan Korupsi” (KPK) tahun 2002 merupakan terobosan
institusional untuk membantu lembaga lembaga peradilan lainnya (Polisi,
Kejaksaan dan Pengadilan) dalam membasmi tindakan korupsi di Indonesia yang
begitu subur dan sangat sulit dicegah.
Tujuh
(7) kondisi sosial dan ekonomi menjadi bukti untuk meyakinkan masyarakat bahwa;
korupsi telah merusak banyak sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dampak-dampak korupsi di Indonesia sejauh ini adalah sebagai berikut:
1.
Terjadinya ketimpangan distribusi
pendapatan
2.
jurang disparitas antara kelompok kaya
dan kelompok miskin
3.
dislokasi anggaran pembangunan yang
timpang antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan
4.
korupsi merusak eksistensi dari pada
sistem masyarakat madani
5.
menciptakan ekonomi biaya tinggi dan
mendistorsi struktur pasar
6.
pelayanan publik yang minim
7.
terjadinya proses konglomerasi dan
monopoli sistem produksi dan distribusi.
Korupsi
yang telah merusak berbagai sendi kehidupan masyarakat juga kini mendera dunia
pendidikan di Indonesia. Data menunjukkan bahwa sektor pendidikan termasuk
dalam salah satu karegori penyelewengan keuangan negara terbesar yakni menyangkut
54 sektor dengan kerugian negara Rp115.7 miliar, di samping sektor-sektor pemerintahan
dan pemerintah daerah. Dana Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2012 sebesar
Rp 248 triliun, sebanyak Rp 162 triliun diserahkan ke daerah-daerah. Potensi
korupsi terbuka di daerah dan di pusat dalam pengelolaan keuangan sebesar itu.
Korupsi keuangan negara di sektor pendidikan ini memiliki korelasi dengan
kebijakan otonomi Daerah (Otoda), di mana pemerintah pusat tidak banyak
memiliki wewenang untuk “memeriksa” pemerintah daerah dan pemerintah kota.
Korupsi juga berdampak pada dunia pendidikan.
Dunia pendidikan yang idealnya diharapkan dapat membentuk karakter, mental dan
moral anak didik pun tidak bersih dari praktik- praktik korupsi. Setiap tahun
ajaran penerimaan murid dan mahasiswa baru, praktik melegalkan penerimaan murid
dan mahasiswa baru melalui sistem “sumbangan sukarela,” ikut membuka peluang
untuk melegalkan praktik suap dan sogok untuk memeroleh tempat (bangku) di
lembaga-lembaga pendidikan. Maraknya lembaga pendidikan abal-abal, yang dengan
mudahnya membuka program studi (Prodi) dan memberikan gelar untuk para tamatan
setiap tahun di Indonesia, sebab ijin
operasional dan pengetahuan pihak-pihak terkait, bukan saja menjadi indikator
koruptif, tetapi bukti bagaimana korupsi dilegalkan dalam format dan ‘jubah’
formalitas, dan kebijakan yang terus bertumbuh.
Jalan Alternatif
Salah
satu jalan untuk membasmi atau meminimalkan korupsi adalah melalui teladan dan
tindakan tegas pimpinan atau atasan disetiap unsur birokrasi atau organisasi,
baik pemerintah maupun swasta. Korupsi yang telah bertumbuh bersama peradaban
manusia dapat diatasi kalau ada kemauan baik dari semua pihak untuk tidak
memihak perbuatan korupsi. Pada Untuk menghadapi korupsi di Indonesia yang
sudah kronis, maka sejumlah alternatif dapat dipertimbangkan sebagai berikut.
Pertama, pendidikan moral dan pembangunan karakter setiap individu.” Karakter”
berhubungan dengan watak, sifat-sifat kejiwaan dan tabiat. Karakter dapat membangun integritas, sehingga
mendorong setiap orang untuk mengambil jarak antara yang hak dan yang batil.
Kedua, pendidikan moral yang sifatnya wajib atau imperatif. Ketiga, korupsi
tidak berdiri sendiri tetapi bertumbuh dalam kondisi masyarakat yang ikut
mendukung terjadinya praktik korupsi. Keempat, kualitas pendidikan agama
(membangun religiusitas), yang tidak saja formal tetapi juga esensial lagi
fungsional, dapat mcnjadi salah satu pilar pencegahan terjadinya tindakan
korupsi.
BISAKAH TEOLOGI PEMBEBASAN MELAYANI INDONESIA?
Semper
reformanda DAN TANTANGAN SPIRITUAL KALI KAMI
Alastair
McIntosh
Pendahuluan: Mengalami Indonesia
Tulisan
ini didasarkan pada kuliah yang disampaikan kepada staf di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta pada bulan Februari 2013. Saya menggunakannya untuk
mengeksplorasi pertemuan saya dengan teologi pembebasan dan bagaimana ia telah
sejak dipengaruhi karya hidup saya. Mari saya memperkenalkan diri dengan memori
yang kembali lebih dari 30 tahun untuk kunjungan pertama saya ke Indonesia. Aku
melewati negara saat bepergian kembali ke Skotlandia setelah bekerja sebagai
relawan Voluntary Service Overseas di Papua Nugini (PNG). Meskipun aku dari
Protestan (Presbyterian) pulau yang sangat di Skotlandia, saya telah diposting
untuk mengajar di sebuah sekolah kejuruan Katolik Roma di bawah pensiunan Uskup
Agung PNG, Virgil Patrick Copas.
Sebagian
besar isinya di luar saya pada waktu itu. Namun, saya membaca ayat-ayat tentang
agama-agama lain dan apa yang terjebak dalam pikiran saya adalah bagian seperti
ini, dari Lumen Gentium,
Namun
rencana keselamatan juga termasuk orang-orang yang mengakui Sang Pencipta. Di
tempat pertama di antara ini ada umat Islam, yang, mengaku memegang iman Abraham,
bersama kami memuja satu dan penuh belas kasihan Tuhan. . .. Juga tidak Ilahi
menyangkal membantu diperlukan untuk keselamatan bagi mereka yang, tanpa
menyalahkan pada bagian mereka, belum tiba di pengetahuan eksplisit Allah dan
dengan kasih karunia-Nya berusaha untuk menjalani kehidupan yang baik (Vatikan
II 1964, 16).
Kami
tidak tahu apa yang diharapkan. Satu-satunya tempat kita bisa menemukan yang
belum diduduki telah ditangguhkan di atasnya kandang burung berwarna cerah yang
dikirim untuk dijual di] ava. Ketika perahu mendapat bergerak dan kandang
mengayunkan sekitar, kami pergi mandi dengan "pupuk" Kami pindah ke
bagian lain dari kapal, di busur, tetapi ketika laut menjadi badai yang kita
punya meledak dengan semprotan laut. Itu adalah perjalanan perahu dari neraka,
tapi kemudian seorang malaikat Indonesia muncul. Kapten telah melihat kami, dan
ingin memberikan kabin pribadi dan makanan dari dapur kapal. Dia menolak
pembayaran. Aku berharap aku bisa ingat namanya. Semua yang saya ingat sekarang
adalah miliknya penuh, bulat, wajah tersenyum Jawa. Dia adalah seorang Katolik
Roma dan sebagian besar krunya adalah Muslim, namun perbedaan agama tidak
mengganggu salah satu dari mereka. Iman mereka adalah kebaikan, dan kemurahan
hati yang penuh rahmat adalah pengalaman pertama saya di Indonesia.
Beberapa Prinsip Teologi Pembebasan
Alkitab
adalah peti harta karun banyak kunci, kunci yang terbaring menunggu di dalam
hati manusia (lih 2 Kor 3:. 2). Teologi pembebasan berusaha untuk mengubah
kunci-kunci dan melakukannya dengan fokus pada cinta ilahi bagi masyarakat
miskin. Seringkali akarnya ditelusuri ke dokumen konstitusional Gaudium et Spes
- "Joy dan Harapan" - yang mengingatkan Katolik Roma (dan
mudah-mudahan semua orang goodwill) bahwa "kebahagiaan dan harapan,
kesedihan dan kecemasan" orang miskin dan menderita dibagi oleh Kristus,
dan "hak memiliki pangsa barang duniawi yang cukup untuk diri sendiri dan
keluarga seseorang milik semua orang" (Vatikan 1965, paragraf 1 86 69).
Ada
banyak bagian kitab suci yang mendukung pembacaan Alkitab yang menempatkan
kebutuhan orang miskin pertama - ". Pemihakan bagi masyarakat miskin"
Tuhan Sebelum berkhotbah kepada orang banyak, Yesus akan memastikan bahwa
orang-orang diberi makan (misalnya Mk 8.) . Saat itulah ia mulai berkhotbah,
dan untuk mengingatkan mereka bahwa kita tidak hidup dari "roti saja"
(Matius 4: 4).. Dalam membaca dari Yesaya 61, Kristus mengumumkan pernyataan
misinya sebagai "untuk memberitakan kabar baik kepada orang miskin. . .
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan "(Luk 4: 18-19)..
Dia datang untuk membawa "damai di bumi" dan "good will terhadap
laki-laki" dan untuk mewujudkan "kabar baik dari sukacita yang
besar" (Lk.2: 10-14). Dia mengatakan, "Apa pun yang Anda lakukan
untuk salah satu yang paling saudara dan saudari saya ini, kamu telah
melakukannya untuk Aku" (Mat. 25:40). Dalam Lukas 04:19 proklamasi tentang
Yobel (Tahun diterima Tuhan) mengkodekan etika Ibrani Alkitab tentang
membatalkan periodik utang, membebaskan budak dan redistribusi tanah.
Yang
disebut "bapak" teologi pembebasan adalah Gustavo Gutiérrez Peru. Ia
mendefinisikan pembebasan dengan rumus sederhana: Untuk Membebaskan = Untuk
Berikan Hidup (Gutierrez 1988, xxxvii; Yoh 10:28.). Dia menunjukkan bahwa
proses berlangsung pada tiga tingkatan kehidupan manusia. Judul yang saya telah
digunakan untuk mengatur ini di sini adalah sistem penamaan saya sendiri, tapi
kutipan yang nya,
1. TINGKAT
SOSIAL: sebagai "pembebasan dari situasi sosial penindasan dan
marjinalisasi."
2. TINGKAT
PSIKOLOGI: sebagai "transformasi pribadi dimana kita hidup dengan
kebebasan batin yang mendalam dalam menghadapi setiap jenis perbudakan."
3. TINGKAT SPIRITUAL:
sebagai "pembebasan dari dosa, yang menyerang akar terdalam dari semua
perbudakan; dosa adalah melanggar persahabatan dengan Allah dan dengan manusia
lain.
Gutiérrez
memperluas ini, karena itu, dosa tidak hanya merupakan halangan untuk
keselamatan di akhirat. Sejauh itu merupakan istirahat dengan Allah, dosa
adalah kenyataan sejarah, itu adalah pelanggaran dari persekutuan orang dengan
satu sama lain, itu adalah balik dalam individu pada diri mereka sendiri yang
memanifestasikan dirinya dalam penarikan multifaset dari orang lain (Gutierrez
1988, 85).
Di
seluruh dunia, teologi pembebasan telah memperluas sejak didirikan pada tahun
1960 untuk memasukkan rakit pendekatan termasuk hitam, Asia dan adat teologi,
teologi feminis, teologi lingkungan, Teologi non-kekerasan dan teologi seksual
(Rowland (ed.) 2007). Teologi tersebut mewakili sangat membumi dan manusiawi
pendekatan untuk melakukan teologi. Sebagai seorang teolog Presbyterian Amerika
dengan koneksi Skotlandia yang kuat menempatkan dalam garis pembukaan bukunya,
Dalam
memulai eksplorasi teologi pembebasan, itu penting untuk tidak memulai dengan
konsep atau prinsip-prinsip atau wisata sejarah, tetapi untuk memulai dengan
orang - orang yang hidup dalam keadaan yang sangat genting yang mempertaruhkan
nyawa mereka di telepon setiap hari (dan malam) untuk mereka iman, dan yang
tinggal di luar hal-hal tentang yang saya, untuk sebagian besar, hanya menulis
.... Ketika saya mendengar kata-kata "teologi pembebasan," itu adalah
wajah mereka yang saya lihat ..... (McAfee Brown 1993, 19).
Demikian pula,
garis pembukaan volume tombol pada teologi wanita Asia,
Teologi
perempuan Asia telah diciptakan dari konteks sejarah perjuangan Asia untuk
kemanusiaan penuh. Para wanita dari Asia terbangun dari keheningan panjang
mereka dan mulai berbicara dalam bahasa mereka sendiri tentang pengalaman
mereka ilahi ... ide-ide radikal pada pembebasan perempuan, yang awalnya
dikembangkan selama periode penjajahan (Chung 1990, 11).
Teologi Pembebasan diterapkan di Skotlandia
Di
Skotlandia Saya telah banyak digunakan teologi pembebasan dalam pekerjaan saya
di reformasi tanah dan perlindungan lingkungan (McIntosh 1995 86 2001; Henneman
86 McIntosh 2009). Salah satu contoh adalah untuk membantu mencegah kerusakan
gunung di Isle of Harris bahwa sebuah perusahaan multinasional yang ingin
berubah menjadi terbesar tambang jalan-batu di dunia. Anther berada di mulai
dari proses reformasi tanah Skotlandia modern (dengan Isle of Eigg Trust).
Peran teologi pembebasan dalam hal ini adalah untuk membantu aksi sosial sanksi
untuk perubahan. Begitu sering, orang merasa bahwa mereka tidak memiliki
legitimasi untuk bertindak. Bagi mereka yang terbuka dengan ajaran spiritual,
pikiran bahwa Allah mungkin dengan mereka bisa sangat memberdayakan. Demikian
pula pikiran bahwa Penciptaan mengungkapkan keagungan Tuhan dan tidak boleh
dihancurkan untuk keserakahan nakal.
Dengan
demikian, penderitaan kerasukan dapat dipahami sebagai cerita tentang
penjajahan oleh semangat imperialisme. Ini membantu orang untuk merasa
dilegitimasi dalam membuat koneksi mereka sendiri untuk mereka sendiri
"psychohistory" atau sejarah psikologis dimana masyarakat miskin,
secara historis, yang terusir dari tanah leluhur mereka. Tapi tidak ada gunanya
meninggalkan orang berkubang dalam analisis penderitaan mereka. Kami kemudian
beralih ke cerita penyembuhan, seperti peningkatan putri Jarius '(Luk 8:.
40-56). Sebuah kelompok dapat menanyakan: apa "makanan" - literal
atau metaforis - Yesus berniat ayah untuk memberikan gadis itu? Sebuah petunjuk
mungkin bahwa wanita yang mengikuti Yesus sebelumnya hari itu telah pendarahan
selama dua belas tahun. Putri Jarius 'juga berusia dua belas tahun. Bisa
simetri ini menyiratkan pesan berkode tentang penindasan gender? Jika demikian,
apa yang dikatakan kepada peran gender saat ini?
Akhirnya,
kita bisa bergerak melampaui pribadi untuk transpersonal visi realitas. Kita
mungkin beralih ke penglihatan Yohanes tentang pohon anggur hidup (] n. 15) dan
bertanya apa jenis rasa interkoneksi diperlukan tidak hanya untuk penyembuhan
pribadi kita, tetapi juga untuk "menyembuhkan bangsa-bangsa" di dunia
saat ini (Ez . 47:12; Wahyu 22: 2)?
Lintas Agama dan Penyembuhan Bangsa:
Perhatikan
bagaimana, dalam contoh di atas, ada penghubung dari penderitaan pribadi untuk
penyembuhan kolektif dan dengan itu, pengembangan rasa diperluas dan saling
berhubungan dari apa artinya menjadi manusia. Kecuali kita dapat menghormati
kemanusiaan penuh orang lain terlepas dari etnis atau agama mereka tidak akan
pernah ada damai di bumi dan sukacita akan selalu dinodai oleh kemiskinan. Hal
ini mengingatkan kita pada kutipan di atas dari Lumen Gentium dan keharusan
bukan hanya antar "dialog," tapi apresiasi antaragama. Hal ini juga
kembali saya pengalaman di Indonesia di mana kekayaan budaya adalah sedemikian
rupa sehingga kesempatan untuk menjembatani perbedaan yang selalu hadir.
Jika
kita dapat mengambil contoh dari Indonesia lagi, kita tidak harus menarik diri
dari penamaan fakta bahwa di masa lalu, yang disebut "Kristen"
tolonisers membunuh puluhan ribu orang di Jawa Timur. Mereka bahkan digunakan
Islam untuk memecahkan spituality sifat mistik Jawa yang sebelumnya berlabuh
orang-orang dalam arti mereka yang kuat identitas tanah. Ketika asli Jawa
memberontak Belanda memotong kepala tawanan dan menggantung mereka dari pohon
untuk menakut-nakuti ketaatan rakyat lam. ketika kebijakan mereka di Jawa Timur
mengakibatkan, dalam keruntuhan populasi, mereka membawa pelacur sebagai kuda
induk untuk menambah stok tenaga kerja (Beatty 1999, 1-24).
Spiral
kekerasan terus berkelanjutan dengan cara yang berbeda dalam periode tragis
intervensi Amerika selama kediktatoran di Indonesia pada 1960-an. Seperti semua
orang tahu, ini berarti menghapus banyak generasi seniman dan intelektual. Di
beberapa bagian Indonesia itu meninggalkan hampir tidak tersentuh keluarga baik
sebagai korban atau pelaku (Vltchek 2012; Goodman 86 Oppenheimer 2013). Kita
dapat nama "kekuatan" bahwa Indonesia dijajah untuk mengeksploitasi
orang dan sumber daya. Kita bisa membuka kedok fakta bahwa ini meninggalkan
luka budaya yang mengakibatkan era kediktatoran. Sepertinya saya bahwa
orang-orang yang baik di Indonesia, termasuk di dalam pemerintahan yang
terpilih, sekarang bekerja untuk terlibat dengan isu-isu tersebut untuk membawa
tentang penyembuhan bangsa. Ini adalah pemberian Tuhan bekerja, karya Kristus,
Allah, Brahman, namun kami memahami Allah kasih dalam tradisi kita sendiri.
Contoh Rekonsiliasi Antar Agama
Teologi
pembebasan sebagai pendekatan umum untuk membebaskan teologi dari "waktu
ke waktu " dari masa lalu juga menemukan ekspresi dalam agama non-Kristen
termasuk Hindu, Buddha, dan Islam. Dalam Islam, pemikiran Ali Shariati Iran
telah terutama diidentifikasi dengan praksis liberasionis. Begitu juga, menurut
saya, kita bisa melihat analisis dari Musa al-Sadr dari Iran dan Muhammad Abduh
dari Mesir (Rahnema 1994), dan saya yakin bahwa ada banyak contoh Indonesia
juga.
Hal
ini dengan sedikit malu bahwa saya menceritakan kisah itu. Biasanya pemberian
kita harus tetap pribadi (Matius 6:. 3). Namun, saya berbagi cerita hanya untuk
menunjukkan bahwa apresiasi lintas agama bukan ilmu roket. Anda dapat
melakukannya dengan bundel kelapa dan sekantong beras!
Salah
satu titik terakhir itu. Jika kita semua peduli untuk integritas dan
kesejahteraan satu agama orang lain, kekerasan agama akan segera menjadi
sesuatu dari masa lalu. Saya percaya bahwa sangat penting bagi
kelompok-kelompok Kristen untuk memahami hal ini di mana pun mereka comprisean
elit minoritas. Kelompok minoritas sering kurang beruntung, tetapi mereka juga
dapat menikmati hak istimewa. Hal ini terjadi karena mereka kadang-kadang
mengembangkan tingkat tinggi kohesi sosial-ekonomi antara mereka sendiri.
Mereka juga mungkin memiliki akses istimewa ke kekayaan atau pendidikan terkait
dengan unit yang kuat seperti Eropa atau Amerika. Dimana hal ini terjadi,
penting untuk menjaga terhadap bangunan dari ketimpangan yang dapat merangsang
kecemburuan dan kebencian dengan komunitas agama tetangga. Orang Kristen harus
selalu bertanya, "Siapakah sesamaku?" Mereka kepentingan harus
ditempatkan bersama mereka sendiri sehingga kita mengasihi sesama kita seperti
diri kita sendiri (Mat. 22:39).
Kesimpulan: "Keinginan Bergairah" bagi
Allah
Saya
akan menutup dengan satu cerita terakhir. Pada bulan Juni tahun lalu ketika
saya masih di rumah di Isle of Lewis (di mana saya dibesarkan) saya pergi untuk
mengunjungi teman saya Rev Calum Macdonald yang merupakan menteri dari Free
Church of Scotland, seorang Presbyterian. Teologi Calvinis nya dari Pengakuan
Iman Westminster adalah tidak sama dengan pendekatan Quaker saya Kristen, tapi
itu bukan perbedaan yang perlu untuk memecah belah kita.
"Orang-orang
tua pulau," katanya, saat aku duduk dengan dia untuk secangkir teh dan
mematahkan sepotong kue, "menyatakan bahwa hanya ada kualitas dalam hati
manusia bahwa Iblis tidak bisa palsu. Kami menyebutnya miann tersebut. Ini
adalah kata Gaelic. Ini berarti keinginan bersemangat. Keinginan bersemangat
untuk Allah. Orang-orang tua sering mengatakan bahwa satu hal Iblis tidak bisa
memalsukan dalam hati manusia adalah keinginan bersemangat untuk Allah. "
Dalam
tulisan ini saya telah mencoba untuk memetakan gambar teologi pembebasan
menggambar dari pengalaman pribadi baik di Indonesia dan Skotlandia. Saya telah
difokuskan terutama pada mengatasi kekerasan, dan melakukannya dalam konteks
ketegangan antara agama. Saya percaya bahwa ini adalah jalan Salib ketika
dipahami dengan baik, dan eilually, cara Islam. Saya tidak tertarik pada apakah
seseorang mengatakan bahwa mereka adalah seorang Protestan atau Katolik,
seorang Muslim, Kristen atau Hindu. Saya tertarik pada apakah atau tidak kita
bisa berbagi beras dan kelapa bersama-sama - seperti itu anak dengan roti dan
ikan dalam memberi makan lima ribu orang. Saya tertarik pada apakah kita bisa
"selalu reformasi" dengan cara yang terbuka untuk pergerakan Roh
Allah (] Ohn 14: 15-20). Itulah yang mengisi kita dengan karisma miann
tersebut. Ini adalah apa yang menyebabkan kita untuk hidup tidak hanya ada
kehidupan sampah tua, tapi "hidup berkelimpahan" (Yohanes 10:10).
Dalam
nama Kristus, Tuhan memberkati Anda, dan fi amaan Allah "Semoga Allah
melindungimu."
PRAKTEK DAN TEORI DOA
F Gerrit Immink
Pengantar
Dalam
semua agama praktek doa memainkan peran penting. Sebagian ada berbagai bentuk
doa liturgi (celtic atau bentuk ritual doa) dan juga praktek doa pribadi dan pengabdian.
Meskipun doa sering tertanam dalam ekspresi ibadat, itu tetap berhubungan erat
dengan perubahan hidup. Dalam doa ekspresi celtic dan orientasi kehidupan
berjalan beriringan? Sebuah pernyataan awal selanjutnya harus dibuat: di satu
sisi doa mengungkapkan identitas agama dan, di sisi lain, mereka juga
menunjukkan jejak lingkungan kontekstual dan budaya yang lebih luas.
Di
bagian lain dunia keadaan budaya sangat berbeda. Menurut Mbiti "orang
Afrika berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa, mencurahkan isi hati mereka di
hadapan-Nya, setiap saat dan di mana saja. Doa-doa yang permintaan terutama
untuk kesejahteraan material, seperti kesehatan, perlindungan dari bahaya,
kemakmuran dan bahkan kekayaan. Meskipun sebagian besar doa ditujukan langsung
kepada Tuhan, ada masyarakat yang menawarkan doa melalui perantara roh, leluhur
dan hidup-mati "(Mbiti 1992, 64-65). Di sini "zona tengah"
kosmologi Afrika dipertaruhkan. Saya membayangkan bahwa di Indonesia kita
menemukan budaya yang memiliki kosmologi yang sebanding, dan mungkin iklim
budaya di mana praktik doa liturgi yang jelas.
Thomas
Aquinas pernah dirumuskan: oratio est propriae religionis lengan (doa merupakan
dasar agama). Untuk analisis awal akan sangat membantu untuk membedakan antara
aspek-aspek berikut doa: doa sebagai teks, doa sebagai UU, dan interpretasi doa
(Leksikon IV 1995, 308). Perbedaan ini memberikan beberapa struktur untuk
penjelasan pertama dan analisis doa. Dalam sebuah masalah yang kompleks karena
doa adalah penting untuk membenarkan pendekatan seseorang. Apakah studi
berpengaruh pada doa Friedrich Heiler bekerja dengan agama historis dan
perspektif psikologis. Ternyata Heiler menyatakan bahwa komunikasi pribadi
(ekspresi hati) dengan Tuhan adalah karakteristik untuk berdoa. Doa adalah
"komunikasi hidup orang saleh dengan Allah pribadi dan sebagai saat
mengalami Imagined" (Heiler 1923, 491). Dalam doa pendekatan sebagai
script hanya menerima posisi sekunder. Akibatnya tindakan (dan khususnya
dimensi psikologis) membuat prioritas, sedangkan teks dan ritual ternyata
dianggap sebagai sekunder Praktek Islam doa (salat) dengan koneksi intim antara
membaca teks dan tubuh gerakan (ritual) adalah hampir tidak dibahas di ruang
kerjanya. Tampaknya bahwa jenis doa tidak cocok dengan baik ke dalam perspektif
Heiler itu. Menurutnya "Doa adalah awalnya u keluar afektif spontan,
pencurahan bebas hati. Selama pembangunan itu menjadi formula tetap, dibacakan
secara emosional bodoh, hati dan egois. Awalnya doa adalah hubungan pribadi
yang intim dengan Tuhan, secara bertahap menjadi kaku, Form kultus impersonal
"(Heiler 1923, 150).
Menteri
memainkan peran penting dalam praktek doa. Sebagai pemimpin ibadah, tetapi juga
dalam pelayanan pastoral, pendidikan agama, dan lain-lain. Apakah menteri
memimpin jemaat dalam doa dengan cara yang benar adalah sama pentingnya dengan
apakah ia / dia berkhotbah dengan baik. Dalam himne dan doa-doa jemaat
mendekati Allah. Pada saat ada transisi yang mulus antara doa pribadi dan
doa-doa selama ibadah. Tetapi juga mungkin bahwa jamaah tidak memiliki
kehidupan doa pribadi, atau bahwa doa-doa mereka sangat sepihak dan sebagian
besar terbatas pada petisi. Di gereja mereka bertemu lebih banyak jenis mode
doa. Thanksgiving di doa Ekaristi, misalnya, selalu memiliki fokus Kristologis:
Engkau, Tuhan
Allah kita,
selalu dan di
mana-mana,
menjadi berkat,
melalui Yesus
Kristus Tuhan kita.
Dalam
kebaktian rakyat terbawa dalam syukur. Pada saat itu menjadi jelas bahwa jemaat
berubah terhadap Allah karena diri wahyu-Nya. "Setiap kali seorang Kristen
memberikan terima kasih," kata Voip, "itu adalah anamnesis, yang
mengatakan, itu berorientasi pada kehidupan dan penderitaan Yesus" (Voip
1994, 1112). Artinya, pada kenyataannya, motif utama untuk mengatakan bahwa doa
adalah respon terhadap Firman Tuhan. Oleh karena itu, dalam ibadah para peserta
dihadapkan dengan himne dan doa, dengan teks-teks yang telah dibentuk oleh
bahasa dan tradisi gereja.
Praktek
Doa
adalah praktek. Praktek contoh struktur "pikiran." Atau, untuk
memasukkannya ke dalam cara lain, praktik adalah teori-sarat. Mereka memiliki
sejarah, mereka mengembangkan dari waktu ke waktu. Doa adalah praktik
keagamaan, yang tetap dilakukan oleh manusia dan akibatnya memiliki dimensi
antropologi dan terletak dalam konteks budaya. Dalam rangka untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang praktek doa, tiga dimensi dalam konsep doa
yang penting: (1) keterlibatan diri manusia, dan (2) dampak lingkungan budaya
kontekstual, (3) agama Karakter doa.
Doa
adalah keinginan yang dalam manusia untuk kebahagiaan. Orang yang berdoa tidak
hanya menerima apa yang diberikan, seolah-olah apa yang tidak pernah bisa
berubah. Dia / dia akan mencari di luar perbatasan apa yang tampaknya mustahil,
tanpa melepaskan harapan. Dalam doa-doanya individu berdoa mengakui kerentanan
dan ketergantungan sendiri, tetapi sekaligus doa adalah ekspresi dari
fleksibilitas dan nafsu untuk hidup; dia / dia menarik bagi Allah kehidupan. Dalam
doa orang berseru kepada Tuhan mereka. Mereka berpendapat bahwa Allah adalah
alamat yang tepat di tengah-tengah dunia penderitaan dan kerinduan. Doa berakar
dalam kesadaran akan kehadiran Tuhan dan kekuasaan dalam kehidupan manusia.
Konteks sekuler
Di
Eropa Barat dan Amerika Utara konteks di mana orang-orang Kristen berdoa sangat
ditentukan oleh pandangan dunia sekuler. Di eropa kita hidup di dunia kecewa.
Tidak ada Tuhan, tidak ada roh, tidak ada yang super alam, ada dunia keajaiban
atau intervensi ilahi. Dunia adalah alam. Khususnya bagian yang lebih
berpendidikan dari populasi menangkap dunia dalam hal naturalisme. Tidak dalam
arti modernitas yang bertentangan dengan religiusitas, tetapi iklim agak
skeptis dalam hal kepercayaan kepada Tuhan, mukjizat dan apapun. John Searle
mengatakan,
Bagi
kami, para anggota terdidik dari masyarakat, dunia telah menjadi Demystified.
Atau lebih tepatnya, untuk menempatkan titik lebih tepatnya, kita tidak lagi
mengambil misteri yang kita lihat di dunia sebagai ekspresi dari makna
supranatural. Kita tidak lagi memikirkan kejadian aneh seperti kasus Allah
melakukan tindak tutur dalam bahasa keajaiban. [. . .] Jika supranatural ada,
juga akan menjadi alami (Searle 1998, 34-35).
Jenis
penalaran mengakibatkan pola pikir demythologized - semacam pandangan
naturalistik. Jika agama masuk akal, itu hanya bisa dalam hal mekanisme
psikologis tidak dapat dihindari, atau proses sosial dan budaya.
Konsep
"Allah" tidak dapat benar digunakan di ranah ontologi dan metafisika.
Agama direduksi menjadi ranah moralitas dan kesalehan pribadi atau pengabdian.
Agama hanya berfungsi dengan baik selama kita menyadari fakta bahwa itu adalah
tidak lebih dari ekspresi keadaan pikiran. Tidak ada Tuhan yang ada eksternal.
Ini benar-benar memiliki konsekuensi bagi praktek doa.
Kritikus
memiliki dampak yang sangat besar di dunia barat. Protestanisme sangat sensitif
terhadap kritik ini. Dalam Protestan liberal agama menjadi terutama soal
moralitas dan kesalehan. Agama, sehingga ia berpendapat, memanifestasikan
dirinya terutama dalam kehidupan moral dan spiritualitas.
Teologi Doa
Doa
adalah wacana manusia, dinyatakan dalam bahasa dan (liturgi) ritual. Ini adalah
wacana di mana kita melampaui kemanusiaan kita. Sebuah diatasinya dengan
"tidak terlihat" atau "belum" ditunjukkan: doa orang bisa
katakan adalah wacana eskatologis. Menurut doa Cullmann dan menjadi seperti
anak keduanya antisipasi masa depan (Cullmann 1994, 75). Dalam tradisi Kristen
pengertian sebagai anak dan kap ayah- merupakan dimensi penting dalam doa. Kita
berdoa Bapa kita di Surga ... Gereja Kristen awal berseru dalam liturgi: Abba,
ya Bapa ... Rasul Paulus mengatakan "karena kamu adalah anak, maka Allah
telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, menangis, 'Abba ! Bapa
"(Gal 4: 6).? Ini gagasan ayah dan keputraan berakar pada bukti Lama.
Ketika Musa alamat Pharao untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir,
katanya dalam nama Tuhan: "Beginilah firman TUHAN:" Israel adalah
anak saya, anak sulung saya "Jadi saya katakan kepada Anda, membiarkan
anak saya pergi. bahwa ia mengabdi kepada-Ku "(Ex.4: 23). Orang-orang
Israel yang dilihat oleh Allah dalam hubungan keputraan. Dalam Perjanjian Baru]
Esus disajikan sebagai Anak Allah ', dan menurut Injil Yohanes Yesus
mempertahankan kesatuan dengan Tuhan melalui doa. Di saat yang menentukan di
Getsemani, Yesus berkata dalam doa, "Abba, Bapa." Dalam
surat-suratnya Rasul Paulus yakin bahwa Roh Kristus berbicara dalam doa-doa
kita. Roh Allah entah bagaimana berbaur dengan jiwa manusia kita. "Aku
telah disalibkan dengan Kristus. Hal ini tidak lagi aku sendiri yang hidup,
melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal. 2:20) Ini gema ucapan Yesus,
"Karena bukan kamu yang berbicara, melainkan Roh Bapamu berbicara melalui
Anda" (Mat. 10:20).
Kritikus
memiliki dampak yang sangat besar di dunia barat. Protestanisme sangat sensitif
terhadap kritik ini. Dalam Protestan liberal agama menjadi terutama soal
moralitas dan kesalehan. Agama, sehingga ia berpendapat, memanifestasikan
dirinya terutama dalam kehidupan moral dan spiritualitas.
Bagaimana Kita Bisa Memahami Kehadiran Allah dalam
Doa?
Keyakinan
agama adalah bagian dari infrastruktur mental dan psikologis. Di sini, dalam
kehidupan mental dan psikis kita membuat koneksi dan persimpangan dengan segala
macam keyakinan, wawasan dan motivasi. Pada saat yang sama, bagaimanapun,
percaya memiliki ide-ide tertentu tentang siapa Tuhan. Ini adalah fungsi yang
lebih niskala dari pikiran manusia: kita memiliki keyakinan tentang Allah,
Yesus Kristus dan Roh Kudus. Fungsi niskala ini tidak dapat direduksi menjadi
proses psikologis atau keadaan pikiran. Kami memegang satu set keyakinan. Jadi,
kita harus membedakan antara, di satu sisi, tingkat proses mental dan
psikologis (dimensi psiko-sosial), dan di sisi lain isi niskala (katakanlah
dimensi keyakinan, unsur pengakuan dosa) . Berdoa orang memegang keyakinan
tentang Allah: bahwa Dia penuh belas kasihan, bahwa Dia adalah adil dan suci,
bahwa Dia mengampuni dosa kita. Ketika orang berdoa, mereka menyebut Tuhan
dengan deskripsi yang pasti atau nama tertentu yang mengekspresikan sifat-sifat
ini dan sifat. Jadi, orang dapat mengatakan siapa Allah itu. Selain dimensi
ketiga harus disebutkan. Ketika kita berbicara kepada Allah, kita nama dia
sebagai pribadi, kita lihat-Nya. Allah ditujukan sebagai hidup dari orang. Oleh
karena itu, Allah ditujukan sebagai lain yang kita temui dalam percakapan,
Allah sebagai berbicara dan menjawab orang. Dimensi ketiga ini harus dibedakan
dari konten niskala. Oleh karena itu, dalam doa ada dimensi referensial,
referensi dibuat ke dunia luar pikiran manusia (Immink 2004, 120; Immink 2005,
26-42; 238-266). Dimensi ini paling penting dalam praktek doa.
Doa
kinerja memiliki mengaktifkan dan aktualisasi fungsi. Doa tidak hanya
mengaktifkan diri manusia, tetapi juga kehadiran Allah. Dalam doa keselamatan
Allah sebenarnya terungkap dan diberikan. Ada begitu mengatakan saya presentasi
asli pada bagian dari Allah. Bagaimana kita harus memahami hal ini?
Roh Kudus dan Diri Manusia
Itu
pusat iman Kristen bahwa kematian dan kebangkitan Kristus berdampak pada orang
percaya. "Tetapi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya bahwa
kita akan hidup juga dengan Dia" (Rm 6: 8)., Atau: "Terpujilah Allah
dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus! Dengan rahmat-Nya yang besar kita telah
dilahirkan kembali ke harapan hidup melalui kebangkitan Yesus kebangkitan dari
antara orang mati "(1 Petrus 1: 3).. Melalui iman dan baptisan yang kita
terima saya baru identitas di dalam Kristus. Rasul Paulus menunjukkan bahwa
hubungan antara Allah dan manusia terletak pada domain dari roh (pneuma).
"Jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari orang mati, diam di
dalam kamu, ia yang membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati akan
menghidupkan tubuhmu yang fana juga melalui Roh-Nya yang diam di dalam
kamu" (Rm. 08:11). Paulus mengacu ke diri manusia dengan kata-kata seperti
"roh", "jiwa" dan "hati". Istilah
"hati" memiliki konotasi nafsu, niat, affectations dan keinginan,
sementara kata lain yang Paulus juga menggunakan, "nous" (spirit),
terutama mengacu pada kapasitas pemikiran. Manusia ditujukan sebagai
bertanggung jawab, berpikir, menilai dan orang yang disengaja.
Ketika
kita berbicara kepada Allah, kita memanggil kehadirannya dengan mengakui di
dalam Dia kita percaya. Kebanyakan pengakuan ini merupakan bentuk doksologi.
Kami memuji dan memuliakan Dia. Oleh karena itu doa penuh semangat dan kasih
sayang. Diri manusia kita terlibat, dengan segala keinginan dan kekhawatiran
kita. Di tengah-tengah perubahan-perubahan kehidupan kita mengangkat jiwa kita
kepada Allah. Kita bersukacita di dalam Dia. Mengatasi Allah dalam doa jika mengakui
siapa Dia dan apa yang telah dilakukan dalam sejarah keselamatan. Oleh karena
itu, pengakuan berkaitan dengan saksi kehadiran Allah yang menyelamatkan. Hal
ini anamneses, mengingat Kristus. Apakah menelepon ke pikiran yang gaib? Tidak
dalam hal abstrak atau alam ideasional. Allah sebagai obyek dibayangkan
kesadaran kita dalam doa berhubungan dengan sejarah keselamatan, Yesus Kristus
- Yesus yang disalibkan dan Kristus yang Bangkit. Oleh karena itu, doa adalah
tindakan interaksi dan persekutuan antara manusia dan Tuhan / itu adalah
tindakan yang terjadi di ranah Roh. Roh Kudus membangkitkan dalam pikiran
manusia kesadaran kehadiran ilahi, dan pikiran manusia discerns suara dan
kehadiran Allah.
Penciptaan Spritualitas: Sebuah Pandangan Toraja
Indonesia
Robert P.
Borrong
Pendahuluan:
Apa itu Spiritualitas?
Orang
yang berbeda 'memiliki persepsi yang berbeda dari spiritualitas. Budaya dan
agama yang berbeda juga memiliki pendapat yang berbeda tentang Spiritualitas.
Misalnya, di banyak kelompok Kristen di Indonesia diyakini bahwa spiritualitas
ada hubungannya dengan tindakan fisik atau eksternal seperti merokok atau
minum, atau penampilan fisik, seperti memakai rambut panjang atau sandal,
menciptakan penampilan gaduh. Mahasiswa teologi yang Berperilaku atau muncul
dalam cara-cara tersebut dapat dikritik sebagai kurang spiritualitas. Hal yang
sama berlaku di ranah opini publik.
Saya
menulis tulisan ini dari perspektif yang tidak biasa, salah satu yang saya
sebut pendekatan mistis dengan realitas dan hubungan antara manusia dan
realitas lain di dunia, baik jasmani maupun rohani. Saya telah memilih untuk
belajar tema Penciptaan Spiritualitas dari perspektif budaya Toraja, terutama
menggambar pada mitos yang masih sangat hidup dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat itu. Saya harus menyatakan dari awal bahwa pendekatan ini bukan
tanpa prasangka dan subjektivitas. Maksud saya bahwa unsur-unsur budaya Toraja
legenda dan cerita rakyat tidak dapat dikenakan metode biasa penelitian ilmiah.
Namun, sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari bahwa masyarakat,
legenda dan cerita rakyat dapat diakui sebagai kontribusi untuk Toraja
kemanusiaan, terutama untuk Toraja spiritualitas. Itulah alasan di balik upaya
pertama ini menggunakan kearifan lokal sebagai bagian dari warisan manusia
dalam mencari pemahaman universal spiritualitas.
Dalam hal ini
kata "spiritualitas" ada hubungannya dengan kehidupan, karena hanya
melalui pernapasan bahwa manusia dapat bertahan hidup. Dalam arti yang lebih
luas, spiritualitas harus dipahami tidak hanya al berlaku untuk spesies
manusia, tetapi juga dengan makhluk hidup lain di dunia. Tulisan ini didasarkan
pada rasa yang lebih luas spiritualitas, yaitu spiritualitas seluruh dunia yang
hidup, spiritualitas ciptaan.
Apa Spiritualitas Penciptaan?
Istilah
"penciptaan spiritualitas" pertama kali digunakan oleh imam Katolik
Roma Matthew Fox dalam spiritualitas Penciptaan 1970. adalah, sistem yang
berpusat bumi dan sosial lazim sadar spiritual yang dimulai dengan berkat asli
bukan sebuah dosa asal. Spiritualitas Penciptaan bukanlah suatu organisasi atau
afiliasi, melainkan gerakan. Spiritualitas Penciptaan digunakan kedua tradisi
spiritual kuno dan ilmu pengetahuan untuk membangkitkan mistisisme yang otentik
dan merupakan kebangkitan kedua budaya dan agama.
Dalam
mitos dan tradisi Indonesia, hubungan antara manusia dan alam ditentukan oleh
sikap manusia terhadap dewa, terutama oleh sikap buruk dan perbuatan manusia '.
Sikap-sikap buruk dan perbuatan telah menghancurkan hubungan yang harmonis
antara manusia dan alam. Misalnya, jika seseorang di sebuah desa adalah
melakukan sesuatu yang tidak bermoral, perbuatan akan dianggap sebagai
pemberontakan terhadap para dewa (mata pelajaran ilahi atau spiritual). Tidak
hanya akan satu bermoral (aktor individu) dihukum, tetapi seluruh masyarakat
juga. Kegagalan bencana atau panen alam dapat diidentifikasi sebagai hukuman.
Untuk menghindari hukuman, aktor harus menawarkan darah yang tercurah dari
binatang sebagai hadiah menenteramkan kepada para dewa. Penawaran ini berfungsi
sebagai cara untuk memulihkan tidak hanya hubungan yang rusak antara manusia
dan dewa, tetapi juga mengembalikan hubungan manusia dengan lingkungan.
Dalam
contoh di atas, kita melihat bahwa spiritualitas merupakan bagian dari
kebijaksanaan kosmologis dan ekologi, karena tindakan manusia yang buruk
sebagai bencana alam sebagai konsekuensinya, dan situasi harus dipulihkan oleh
pengorbanan binatang. Untuk membuat alam segar dan berbuah, manusia harus bisa
menahan sikap dan perilaku mereka. Dalam hal ini, spiritualitas tidak hanya
harus dilakukan dengan upacara dan ritual, tetapi juga dengan karakter,
perilaku dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah salah satu contoh
dari spiritualitas penciptaan lokal yang membuat keseimbangan di alam semesta.
Manusia harus menjaga keseimbangan dengan alam sekitarnya, tidak hanya melalui
upacara mistis tetapi melalui hanya tindakan baik terhadap manusia lain dan
terhadap ciptaan. Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan
seperti Toraja, menikmati spiritualitas hidup mereka seperti yang diungkapkan
melalui upacara dan ritual, yang mewakili perayaan seluruh ciptaan. Manusia dan
dewa, manusia dan alam memiliki hubungan organik yang melekat sebagai total
ekosfer. Masing-masing mengambil bagian dalam pemupukan seluruh hidup
bersama-sama.
Spiritualitas
penciptaan, sementara dicontohkan sebagai salah satu garis pemikiran Kristen,
benar-benar setua penciptaan menurut Rosemary Radford Ruether:
Hal
ini ditemukan dalam semua tradisi mistis besar Hasid Yudaisme, tasawuf, Budha,
Hindu dan Taoisme. Hal ini bahkan lebih lengkap disajikan dalam agama-agama
alam masyarakat asli yang telah ditaklukkan dan hampir dibasmi oleh agama
dualistik patriarki: spiritualitas kuno Celtic, Afrika, Aborigin Australia, dan
penduduk asli Amerika. Penciptaan Spiritualitas panggilan untuk
"ekumenisme dalam" yang menyatukan tradisi Penciptaan spiritual-ity
dari setiap kebudayaan (Ruether 1990).
Indonesia
memiliki banyak kelompok etnis pribumi berlatih agama alam yang bisa dikategorikan
sebagai spiritualitas ciptaan. Dengan cara yang sama, saya akan memilih Toraja
mitos sebagai studi kasus dalam penciptaan spiritualitas di Indonesia. Mitos
ini adalah bagian dari Toraja kehidupan sehari-hari dan menjadi sumber
kehidupan itu sendiri; mereka diimplementasikan dalam upacara, tindakan dan
keputusan yang dibuat setiap waktu dan di mana-mana orang Toraja berlatih
budaya mereka.
Studi Kasus
Budaya
Toraja sebagian besar diidentifikasi oleh mitos dan ritual yang masih
dipraktekkan hingga saat ini. Untuk Hetty Nooy-Palm, ini adalah inti dari
budaya (Nooy-Palm 1986, 320). Selain mitos dan ritual, budaya Toraja juga
berasal dari dongeng, legenda dan cerita rakyat yang fokus pada identitas
masyarakat Toraja sebagai kelompok etnis. Tulisan ini akan terbatas pada mitos
penciptaan sebagai salah satu sumber upacara Toraja dan ritual. Mitos
penciptaan dipilih karena mereka memberitahu asal-usul budaya Toraja dan juga
tentang hubungan antara entitas ilahi, entitas manusia dan makhluk lainnya.
Singkatnya, mitos penciptaan adalah pusat keberadaan Toraja.
Toraja
adalah sebuah kelompok etnis pribumi ke daerah pegunungan Sulawesi Selatan,
Indonesia. Menurut, untuk Kees Bijs, "Toraja" adalah nama yang
digunakan oleh N. Adriani dan Kruyt AC untuk menunjuk orang-orang yang tinggal
di daerah pegunungan Sulawesi Sulawesi Selatan dan Tengah (Buijs 2004, 23).
Kata "Toraja" berasal dari bahasa Bugis, untuk Riaja, yang berarti
"orang dari dataran tinggi." Tangdilintin menyebutkan dua derivasi dari
kata Bugis, untuk Riaja dan Rajang. Untuk Riaja berarti "orang atas di
utara," sementara untuk rajang berarti "orang dari barat"
(Tangdilintin 1980, 2).
Semua
ritual dan upacara yang dilakukan untuk menjaga hubungan yang harmonis antara
ilahi atau pencipta entitas dan entitas makhluk. Entitas makhluk termasuk
manusia, hewan, tumbuhan dan roh. Mereka semua hidup dalam hubungan dualistik,
dalam hubungan yang baik dan buruk. Ritual dilakukan untuk menyeimbangkan
pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan terpadu. Jika ritual ini terlupakan,
keseimbangan dan keseimbangan eksistensi akan rusak dan kehidupan akan
berakhir. Itulah mengapa ritual selalu dilakukan. Nilai-nilai yang paling
signifikan dari budaya Toraja masih merupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari. Nilai-nilai ini dapat dihitung sebagai kontribusi Toraja hidup
global dalam era modern. Singkatnya, segala sesuatu dalam aktivitas manusia
dimaksudkan untuk menjaga perdamaian dan rekonsiliasi di seluruh eksistensi.
Ini adalah isi dari spiritualitas penciptaan dalam budaya Toraja.
Sepertinya
saya bahwa tidak ada konflik antara Kristen dan spiritualitas Toraja dalam arti
bahwa keduanya menghormati kehidupan seperti yang diterima dari Sang Pencipta.
Semua kehidupan diterima sebagai anugerah dan dipercayakan kepada manusia untuk
diperhatikan, dilindungi, dipelihara untuk kesejahteraan semua. Ini adalah arti
sebenarnya dari spiritualitas, dan alasan di balik harmoni antara Toraja, yang
sebagian besar beragama Kristen dan hidup bahagia dengan budaya tradisional.
Spiritualitas Kristen yang didasarkan pada dia inkarnasi Yesus Kristus diterima
oleh Toraja sebagai bagian dari budaya mereka, sehingga iman Kristen hidup
dalam konteks budaya Toraja Tanpa kesulitan besar.
Kesimpulan
Penjelasan
di atas mengarah ke beberapa kesimpulan mengenai pembuatan spiritualitas dalam
budaya tradisional Toraja:
1. Budaya
Toraja, seperti budaya Indonesia pada umumnya, menghormati aspek spiritual dari
semua kehidupan. Setiap keberadaan hidup berbagi manifestasi surgawi
supra-natural makhluk.
2. Menghormati
aspek spiritual dari kehidupan mengarah ke tive construc dan hubungan yang
bermanfaat antara manusia dan makhluk hidup lainnya.
3. Upacara
dan ritual dalam adat dan agama dilakukan untuk menjaga alam semesta dalam
keseimbangan. Mereka diciptakan untuk mempertahankan hubungan yang harmonis
antara manusia dengan dewa dan dengan ciptaan.
4. Adanya
hidup seluruh saham nasib yang sama dan martabat yang sama. Tuhan / dewa adalah
/ tidak dipahami sebagai luar atau di atas alam, tetapi seperti yang dituturkan
dalam dan melalui alam. Alam itu sendiri mewujudkan spiritualitas ilahi.
Pemahaman ini tidak bertentangan dengan spiritualitas Kristen, juga diwarisi
oleh mayoritas Toraja.
5. Ide
penciptaan spiritualitas dari budaya Toraja harus dipertahankan dan diwariskan
dari generasi ke generasi, kepada semua orang, untuk mempertahankan perdamaian,
harmoni dan rekonsiliasi di antara semua eksistensi.
Perjuangan
Daftar Tuhan
Ester P Widiasih
Pendahuluan
Prinsip
liturgi menonjol dari Gerakan Liturgi adalah bahwa aturan doa menetapkan aturan
percaya, "lex orandi, lex credendi" (Lihat Lathrop 1993, 9). Prinsip
ini mengandaikan bahwa liturgi itu sendiri adalah awal melakukan teologi.
Namun, datang dari Gereja Reformed yang menekankan supremasi Alkitab sebagai
dasar utama dari kedua melakukan liturgi dan melakukan teologi, saya
bertanya-tanya apakah prinsip yang normatif untuk diskusi ibadah di Gereja
Reformed.
Salah
satu ciri khas liturgi Perjamuan Tuhan di Gereja Reformed adalah "pagar
meja." Sebelum persekutuan, menteri membaca daftar orang-orang yang tidak
bisa menerima roti dan anggur karena perilaku jahat mereka, dan undangan mereka
untuk melakukan pemeriksaan diri. Apa arti penting dari "pagar meja"
dalam teologi liturgi dan sakramen Calvin? Ini akan menjadi pertanyaan utama
yang harus dijawab. Apakah situasi sosial-keagamaan pada abad keenam belas
Jenewa memberikan kontribusi terhadap lembaga praktek itu?
Sketsa Singkat Hidup Calvin dan Gereja di Jenewa
Calvin
adalah lebih dikenal sebagai seorang teolog sistematis daripada sebagai seorang
pendeta. Namun, hidupnya didedikasikan untuk melayani Gereja di Jenewa,
meskipun benar bahwa ia sangat enggan untuk menerima posisi, lebih memilih
untuk mengabdikan dirinya untuk penelitian pribadi. Hanya karena tekanan Farel
yang tidak Calvin akhirnya setuju untuk mengambil posisi itu, dan pada bulan
November 1O'h, 1536 ia terpilih pendeta (Parker 1975, 1957). Dididik sebagai
pengacara di Perancis, ia tiba di Jenewa oleh kecelakaan. Calvin melarikan diri
dari negaranya karena penganiayaan berat yang reformis. Dengan kakak dan
adiknya, ia ingin pergi Strasbourg, tetapi mereka dipaksa oleh gerakan militer
untuk membuat jalan memutar ke selatan, dan berakhir di Jenewa. Setelah Calvin
tiba di sana, kota ini telah memilih untuk mengikuti Protestan, membebaskan diri
dari kekuasaan uskup pangeran-yang berkuasa, dan telah membuat aliansi dengan
kanton Swiss Bern dan Fribourg (Lihat Monter 1967).
Menurut
Calvin, Allah benar-benar transenden dan hibernate Dewa rom makhluk. Dengan
kondisi berdosa dan lemah mereka, makhluk aluman tidak dapat mencapai
pengetahuan tentang Tuhan, kecuali Tuhan yang memulai mengungkapkan Godself ke
manusia. Dalam mengungkapkan Godself Namun, Allah menggunakan media duniawi
untuk beradaptasi keagungan Allah untuk kapasitas manusia. Jadi Tuhan
"cadar sendiri dalam simbol-simbol duniawi, menempatkan visi manusia
tanda-tanda tertentu yang bisa menunjukkan kepada pikiran rendah hati dan
percaya bahwa Ia hadir" (Wallace 1997). Dengan kata lain, bahkan melalui
simbol-simbol duniawi dan tanda-tanda, manusia tidak dapat memahami seluruh
entitas Allah. Calvin menulis: "Memang benar bahwa Tuhan kadang-kadang
diwujudkan kehadirannya oleh tanda-tanda tertentu, sehingga ia dikatakan
dilihat tatap muka; tapi semua tanda-tanda dia pernah bekerja adalah sesuai
tepat dengan skema doktrin, dan, pada saat yang sama, memberikan isyarat polos
esensi dimengerti nya "(Calvin 1.XI.3). Apa yang kita lihat adalah hanya
sekilas diri Allah. Wahyu Allah, oleh karena itu, selalu dimasukkan ke dalam
paradoks: Tuhan sengaja mencoba untuk berkomunikasi dengan manusia dan untuk
mengungkap Godself, namun pada saat yang sama wajah Allah masih terselubung
(Wallace 1997, 8). Transendensi dan imanensi Allah selalu dimasukkan ke dalam
ketegangan.
Apa
pengaruh pengetahuan kita tentang Allah? Pengetahuan tentang Allah memanggil
orang percaya untuk hidup saleh, sebagai rasa terima kasih mereka kepada Tuhan.
Oleh karena itu, menurut Calvin "iman adalah akar dari mana semua
perbuatan baik musim semi" (Dillenberger 1975, 265). Pertobatan Qur, yaitu
kebencian dosa dan cinta kebenaran, yang hasil dari rasa takut kita kepada
Allah, akan membawa kita untuk "penyangkalan diri dan aib daging, sehingga
kita memberikan diri kita untuk bimbingan Roh Allah, dan bingkai semua tindakan
hidup kita dengan kepatuhan kehendak ilahi "(Dillenberger 1975, 265),
sikap seperti ini adalah bentuk otentik ibadah kita. Singkatnya, untuk Calvin,
kesalehan diwujudkan ketika percaya di dalam Kristus sejalan dengan hidup
sesuai dengan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Teologi Calvin mengenai Ekaristi
A.
Sebuah
Makanan untuk Jiwa kami
Sebagai
Bapa yang penuh kasih Tuhan akan selalu memelihara kita, yang telah diadopsi
dan milik keluarga Allah dengan cara Perjamuan Tuhan (Perjamuan Kudus). Calvin
menegaskan:
Setelah
Allah telah pernah menerima kita ke keluarganya, itu bukan karena ia mungkin
menganggap kami dalam terang hamba, melainkan anak-anak [dan putri], melakukan
bagian dari jenis dan orang tua cemas, dan menyediakan untuk pemeliharaan kami
selama keseluruhan sumber kehidupan kita ... untuk tujuan ini, ia telah
memberikan sakramen lain untuk Gereja-Nya dengan tangan Putra yang tunggal nya
- yaitu. pesta spiritual, di mana Kristus bersaksi bahwa ia sendiri hidup roti
(Yoh. 6:51), di mana jiwa kita makan, untuk keabadian benar dan diberkati
(Calvin 4.XVII.1).
Secara
rohani, apa yang kita makan dalam persekutuan adalah tubuh dan darah Yesus
Kristus. Praktek Perjamuan Tuhan itu sendiri ditetapkan oleh Iesus Kristus pada
malam ia makan bersama dengan murid-murid-Nya sebelum sengsara-Nya. Sakramen
ini diberikan oleh Bapak belas kasihan karena kelemahan kita dan ketidakmampuan
kita untuk menerima firman Allah dengan kepercayaan tulus yang benar melalui
ajaran dan berkhotbah (Calvin di Dillenberger 1975, 510). Dengan demikian,
fungsi makanan sebagai tanda dan meterai keselamatan Allah dalam Yesus Kristus,
karena itu mengarah dan mengarahkan kita ke salib Yesus Kristus dan
kebangkitan-Nya. Calvin juga menandakan Perjamuan sebagai cermin "di mana
kita dapat merenungkan Yesus Kristus disalibkan untuk membebaskan kita dari
hukuman, dan dibesarkan lagi untuk mendapatkan bagi kita kebenaran dan hidup
yang kekal." Jadi ada dua hal yang bisa kita dapatkan dari mengambil
bagian Perjamuan: menerima Yesus Kristus sendiri sebagai sumber dan substansi
semua baik, dan buah dari kematian dan gairah (Calvin di Dillenberger 1975,
512).
B.
Kehadiran
Kristus
Masalah
yang paling polemik Ekaristi di era Reformasi yang bagaimana seseorang
mendefinisikan roti dan anggur, dan bagaimana Kristus hadir dalam spesies
tersebut. Tulisan-tulisan Calvin pada Perjamuan Kudus menangani sebagian besar
dengan mata pelajaran. Sebagai generasi kedua reformis, ia mencoba untuk
menjembatani Lutheran dan Zwingli pihak. Bersama dengan Lutheran (dan Katolik),
Calvin mengakui bahwa Perjamuan adalah sakramen ditahbiskan oleh Allah. Roti
dan anggur menandakan rahmat Allah yang tidak kelihatan itu. Mereka tidak hanya
tanda telanjang yang membawa kita untuk secara rohani mengingat gairah Kristus,
seperti yang disarankan oleh Zwinglians. Untuk Calvin, roti adalah benar-benar
tubuh Kristus, dan anggur adalah darah Kristus. Roti secara substansial masih
roti, dan anggur tetap anggur biasa. Bahan-bahan duniawi adalah tanda-tanda
yang menunjukkan hal-hal yang dipamerkan (Calvin 4.XVII.l1). Memang, Calvin
mengakui bahwa roti dan anggur adalah simbol, bukan realitas itu sendiri. Tanda
berbeda dari hal yang ditandai. Yang pertama adalah jasmani dan terlihat,
sedangkan yang kedua adalah rohani dan surgawi. Dengan demikian, di Perjamuan Tuhan,
kita tidak mengunyah daging Kristus atau minum darahnya. Namun, tanda penting,
karena, menurut Calvin, "... karena tidak hanya angka hal yang digunakan
untuk mewakili sebagai lencana telanjang dan kosong, tapi juga benar-benar
menunjukkan itu ..." (Calvin 4.XVII .l1; 4.XVII.21). "Substansi
internal sakramen adalah siam dengan tanda-tanda; dan roti yang didistribusikan
kepada kami dengan tangan, sehingga tubuh Kristus dikomunikasikan kepada kami
agar kami dapat diberi bagian dari itu "(Calvin di Dillenberger 1975,
516).
Namun,
Calvin menolak gagasan Lutheran mana-mana. Bagi Luther, Kristus tidak terlihat
dan di mana-mana setelah kenaikan-Nya. Oleh karena itu, tubuh Kristus bisa
hadir di mana-mana. Dalam persekutuan itu, tubuh Kristus diberikan "dalam,
dengan, dan di bawah" roti fisik. Bertentangan dengan Luther, tetapi dalam
perjanjian dengan Zwingli, Calvin mengklaim bahwa tubuh Kristus (dalam bentuk
tubuh duniawinya) adalah di surga, dalam kemuliaan surgawi. Untuk melampirkan
tubuh Kristus dalam wadah lokal, misalnya di dalam sepotong roti, yang
mendiskreditkan kemuliaan surgawi-Nya. Kristus tidak bisa dan tidak boleh
"dibawa di bawah elemen fana dunia ini, atau ditempel makhluk
duniawi" (Calvin '4.XVII .19).
Meskipun
Calvin tidak menganggap Kristus sendiri hadir dalam roti dan anggur, ia percaya
bahwa kita bersatu dengan Kristus ketika makan roti dan minum cawan itu.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Hal ini dimungkinkan karena pekerjaan Roh
Kudus. Meskipun itu adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti, misterius Roh
Kudus mempersatukan kita dengan Kristus: "Tuhan dengan Roh-Nya melimpahkan
kepada kita berkat menjadi satu dengan dia dalam jiwa, tubuh dan jiwa. Ikatan
hubungan itu, karena itu, adalah Roh Kristus, yang menyatukan kita kepadanya,
dan adalah semacam saluran di mana segala sesuatu yang Kristus memiliki dan,
yang diturunkan untuk kita Dalam hal ini, corda sursum dalam liturgi Calvin
adalah dimaksudkan untuk mengundang partisipan untuk "mengangkat semangat
dan hati kita yang tinggi di mana Yesus Kristus dalam kemuliaan Bapa-Nya, mana
mengharapkan-Nya di penebusan kita" (Thompson 1961, 2O7).
C.
Rasa
Syukur Pengorbanan
Masalah
panas lain dari ekaristi yang dipupuk pemisahan gereja-gereja evangelis dari
Gereja Roma adalah pengorbanan. Sebagai reformis lainnya, Calvin benar-benar
menentang gagasan Katolik yang melihat massa sebagai korban melalui karya
Kristus ditawarkan kepada Allah untuk penebusan dosa yang hidup dan yang mati.
Berdasarkan keyakinan bahwa keselamatan adalah kasih karunia Allah dan bahwa
manusia tidak mampu menyelamatkan diri, Calvin mengkritik massa sebagai
pekerjaan Gereja untuk menghapus dosa. Kristus mengorbankan dirinya hanya
sekali untuk semua, dan kemanjurannya selama-lamanya. "Tuhan telah memberi
kita sebuah meja di mana kita bisa berpesta, bukan altar di mana korban mungkin
ditawarkan; Dia tidak disucikan imam berkorban, tetapi menteri untuk
mendistribusikan pesta suci "(Calvin 4.XVIII.12).
Calvin
memang mengerti Perjamuan Tuhan sebagai pesta spiritual yang harus ditanggapi
dengan ucapan syukur atas kasih Tuhan, sehingga ia menyebut Perjamuan sebagai
persembahan dari "korban pujian." Gerrish, dalam bukunya Rahmat dan
Syukur (1993), menegaskan bahwa untuk Calvin Perjamuan adalah karunia Allah
yang mengundang partisipan untuk bersyukur (1993, 19).
Pemahaman
seperti itu jelas terlihat dalam doa sebelum perayaan Perjamuan Tuhan dalam
liturgi Calvin yang dimulai dengan menawarkan pujian yang kekal dan terima
kasih kepada Tuhan atas persekutuan dengan Yesus yang membawa keselamatan.
Perayaan ini juga berakhir dengan doa syukur (Calvin 4.XVIII.11).
D.
Serikat
Mistik dengan Kristus
Manfaat
pertama mengambil bagian Perjamuan Tuhan adalah bahwa dengan memakan tubuh
Kristus dan minum darah-Nya kita menjadi satu dengan Kristus, roti surga, dan
memiliki dia, agar "dia bisa hidup di dalam kita dan kita di dalam
Dia." jadi penting adalah konsep berada di persekutuan yang sejati dengan
Kristus, Calvin mengaku, bahwa tanpa percaya salah satu bisa tidak memiliki
keselamatan. Dia mengatakan, "Dan, memang, saya melihat tidak bagaimana
ada orang yang dapat berharap untuk memiliki penebusan dan kebenaran dalam
salib Kristus, dan hidup dalam kematian-Nya, tanpa percaya pertama-tama untuk
persekutuan yang sejati dengan Kristus sendiri." Persatuan mistis ini memang
di luar pemahaman kita, namun tidak boleh dirasakan oleh kecerdasan dan
imajinasi (pengetahuan belaka dia), tetapi dengan menikmati persekutuan yang
benar.
Kedua,
menjadi bagian dalam substansi Kristus, kita dapat berpartisipasi dalam semua
berkat-Nya, sehingga kita dapat memiliki semuanya miliknya. Pertama-tama, kita
mungkin memiliki hidup yang kekal dan kerajaan surga, yang ia adalah ahli
waris. Karena Kristus adalah Anak Allah, oleh karena itu kita juga disebut
anak-anak Allah. Seperti tubuh kita dipelihara dan diperkuat oleh makanan
duniawi, begitu juga jiwa kita disegarkan oleh makanan rohani agar kita dapat
menikmati partisipasi kehidupan. Karena Kristus ada di dalam kita, dia selalu
hadir dalam diri kita. Energi dan kekuatan-Nya dapat hidup di dalam kita,
mempertahankan, konfirmasi, dan meramaikan kehidupan kita. Dengan demikian,
untuk Calvin serikat mistis tidak hanya kesadaran intelektual, tetapi lebih
mengalami kehadiran Kristus dalam kehidupan kita sehari-hari. Kristus menjadi
sumber kehidupan kita dan pada saat yang sama membawa kita ke kehidupan
spiritual yang suci.
Apa
hubungan antara iman dan Perjamuan Tuhan? Dalam Perjamuan Tuhan tubuh Kristus
diterima oleh iman. Sejak makan tubuh Kristus adalah masalah spiritual, iman
akibatnya dibutuhkan. Meskipun Perjamuan dapat meningkatkan dan memperkuat iman
kita, masih iman adalah prasyarat makan dan minum. Satu harus tahu siapa Tuhan
dan harus mengakui keselamatan oleh Kristus agar dapat mengambil bagian tubuh
Kristus.
E.
Partisipasi
Komunikasi dan Konsekuensi
Calvin
ingin merayakan sakramen setidaknya sekali seminggu, tetapi hakim Jenewa lebih
suka memiliki empat kali dalam satu tahun seperti yang dilakukan di Gereja
Zwingli. Dengan demikian mereka merayakan empat kali dalam setahun: pada
Paskah, Pentakosta, kadang-kadang pada bulan September, dan pada hari Natal.
Calvin mengkritik praktek mengambil komuni sekali setahun di Gereja Roma, yang
baginya melawan lembaga Tuhan. Kristen harus merayakan sering, sehingga mereka
bisa "sering menelepon ke pikiran penderitaan Kristus, sehingga
mempertahankan dan mengkonfirmasikan iman mereka: aduk diri untuk menyanyikan
pujian Allah, dan menyatakan kebaikan-Nya; menghargai dan bersaksi terhadap
satu sama yang saling amal lainnya, ikatan yang mereka lihat dalam kesatuan
tubuh Kristus "(Calvin, 4.XVII.44). Sebuah keberhasilan besar sakramen
adalah sebagai manifestasi serta sumber kesalehan Kristen. Tidak mengherankan,
Konsistori bekerja keras untuk mendorong orang-orang Kristen di Jenewa, yang
digunakan untuk merayakan setahun sekali, untuk menerima sakramen.
Ada
dua kriteria kelayakan dari komunikan untuk mengambil bagian daftar, menurut
Calvin:. Yang pertama adalah memiliki iman dan pertobatan, dan yang kedua
adalah hidup dalam kemurnian dan kesucian hidup "Tubuh Kristus diterima
hanya dengan iman yang mengakui dosa dan kelemahan seseorang. Ini pengakuan
iman harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pertobatan sebagai
manifestasi dari kehidupan baru yang diberikan oleh Allah dalam baptisan.
Kriteria kedua adalah berkaitan dengan dan sebagai konsekuensi dari yang
pertama. Konversi mengandaikan hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Jika
Tuhan membutuhkan rasa syukur dari kami dalam penerimaan sakramen ini - jika ia
ingin kita mengakui kasih karunia-Nya dengan hati, dan mempublikasikannya
dengan mulut - orang itu tidak akan luput dari hukuman, yang telah menempatkan
penghinaan kepadanya daripada kehormatan; karena Tuhan tidak akan membiarkan
perintah-Nya dipandang rendah (Calvin 1948, 385).
Pernyataan
itu menyiratkan bahwa komunikan yang turut tidak layak melawan perintah Allah
untuk menerima sakramen dengan rasa syukur dan hormat.
Apakah
Calvin menuntut kesempurnaan? Tidak semuanya. Dia selalu mengakui kelemahan
manusia dan dosa. "Mari kita ingat bahwa hari raya suci ini adalah obat
untuk orang sakit, menghibur orang berdosa, dan karunia kepada orang miskin.
Sebelum terbaik dan hanya kelayakan yang bisa kita bawa kepada Allah, adalah
untuk menawarkan vileness kita sendiri, dan, ketidaklayakan, bahwa rahmat-Nya
dapat membuat kita layak ... "(Calvin 4.XVII.42). Kelayakan diperintahkan
oleh Allah terdiri dalam iman dan amal. Meskipun mereka tidak sempurna, mereka
akan menjadi sempurna selama seseorang percaya dengan rahmat Allah. Bahkan,
kesempurnaan akan membuat sakramen sia-sia, karena "tidak dilembagakan
untuk sempurna, tetapi untuk lemah dan lemah, untuk membangkitkan, membangkitkan,
merangsang, latihan perasaan iman dan amal, dan pada saat yang sama yang benar
kekurangan baik "(Calvin, 4.XVII.42).
Penutup
Calvin
teologi dan praktek liturgi, sehingga untuk berbicara, yang dibentuk oleh
konteks zamannya. Secara umum, masalah utama dari Gereja Jenewa dan masyarakat
adalah untuk menentukan identitas baru. Sejak saat itu negara dan gereja yang
tak terpisahkan dan mayoritas warga adalah Kristen, identitas agama akibatnya
mempengaruhi identitas masyarakat. ketika Calvin datang ke Jenewa, dewan kota
telah dilarang dan menghapuskan praktik dan sistem Katolik, meskipun pada
tingkat akar rumput, praktek-praktek tersebut masih sangat hidup. Sebagai
seorang pendeta kota, Calvin mencoba untuk mengisi kekurangan identitas baru
berdasarkan pemahaman teologinya. Salah satu usahanya adalah membangun
Konsistori, yang lebih atau kurang menggantikan fungsi dari Kuria dan hirarki
ulama dalam sistem Katolik Roma.
Perjamuan
Tuhan memiliki tempat yang tinggi dalam teologi Calvin. Hal ini dimaksudkan untuk
diterima oleh orang-orang yang layak (yang memiliki iman yang benar dan
pertobatan). Tema eksklusivitas terutama ditekankan dalam liturgi. Pada awal
Perjamuan, menteri mengumumkan anak-anak dan orang-orang asing, yang keadaan
iman yang jelas, dilarang untuk mengambil bagian dari persekutuan tersebut.
Kata ini lembaga kemudian dibaca sebagai surat perintah, mengingatkan bahwa
Perjamuan ini dilembagakan oleh Yesus Kristus, dan bahwa "Tuhan mengamati
Perjamuan dengan murid-murid-Nya, dari mana kita belajar bahwa orang asing dan
orang-orang yang bukan milik perusahaan nya orang-orang beriman tidak boleh
diakui "(Thompson 1961, 205). Setelah membaca, menteri dikucilkan
orang-orang tertentu yang masih percaya dan praktek Katolik (penyembahan
berhala, penghujat, despisers Allah, dan sesat), serta orang-orang yang
melakukan perbuatan tidak bermoral (seperti pencuri, pemabuk, rakus, berzinah,
cabul, orang-orang yang mempromosikan hasutan, bertindak brutal, dll).
Seperti
yang saya sebutkan di bagian pendahuluan, di gereja-gereja Reformasi aturan
percaya pengaruh kurang lebih normatif aturan berdoa. Kita dapat melihat dengan
jelas dalam praktek Perjamuan Tuhan di gereja Jenewa. Doktrin Calvin dari
transendental, namun penuh kasih, Tuhan dan dosa umat manusia berbentuk liturgi
tentang Ekaristi, tidak hanya pemahaman itu, tetapi juga praktek liturgi,
khususnya dalam pagar meja. Namun, konteks sosial-keagamaan Gereja, yang pada
saat itu sedang menjalani pembentukan identitas baru, harus dianggap sebagai
faktor yang berpengaruh lain yang sangat memberikan kontribusi terhadap praktek
pagar meja Tuhan. Dalam hal ini, aturan berdoa juga dipengaruhi oleh konteks
gereja abad keenam belas Jenewa. Hasil pesanan Ekaristi Calvin doa akan tidak
akan sama jika Calvin pernah tinggal dalam konteks sosio-politik yang berbeda.
Liturgi ekaristi Calvin memang kontekstual bagi orang-orang abad keenam belas
dari Jenewa. Oleh karena itu, bagi gereja-gereja Reformed pada abad kedua puluh
satu, liturgi Ekaristi Calvin tidak dapat dilaksanakan tanpa mempertimbangkan
konteks sosial-politik mereka sendiri dan pemahaman mereka tentang perjamuan
kudus, yang, sendiri, harus dibentuk oleh lokal (kontekstual), tradisional
(denominasi sejarah), dan teologi ekumenis.
ONTOTEOLOGI DAN KEBERADAAN TUHAN
Yulius Tandyanto
Metafisika Sebagai Ontoteologi
Bagi
Martin Heidegger (1889-1976), sejarah metafisika Barat merupakan proyek
ontologis sekaligus teologis. Dengan memandang metafisika sebagai proyek ontologis
sekaligus teologis, Heidegger berupaya mendekonstruksi aspek yang Fundamental
dalam merafisika. Dengan kata lain, Heidegger hendak menanyakan apa yang menjadi
landasan ontoteologi dalam metafisika. Dalam penelusurannya, Heidegger
memperlihatkan bahwa merafisika Barat modern memiliki karakteristik fondasi
primal. Sifatnya cenderung memberi landasan “dari dalam ke luar” (ontologis)
dan menjustifikasi realitas “dari luar ke dalam” (teologis).
Sejarah
metafisika Barat memperlihatkan keregangan anrara fondasi primal dan fondasi
tanpa batas. Heidegger mengistilahkannya sebagai “landasan ganda”. Landasan
ganda memungkinkan pemahaman kita mengenai pengada “tertahan” secara
epistemologis antara fondasi primal dan fondasi tanpa batas. Hal inilah yang
menyebabkan sejarah merafisika dipahami sebagai suksesi pemahaman mengenai pengada
yang bersifat relative dan temporal ketimbang sebagai pengertian tunggal dari
suatu masa atau perubahan yang mengalir secara berkelanjuran.
Keberadaan Tuhan
Apa
yang akan dinyatakan oleh seorang pemikir yang merayakan warta “kematian Tuhan”
dan yang juga berkontribusi dalam melumpuhkan metafisika mengenai filsafat agama
kontemporer. Barangkali ia akan berpendapat bahwa sebagian besar filsafat agama
akan berkutat untuk membuktikan keberadaan Tuhan atau mendamaikan berbagai
konsep “wahyu” dengan “nalar.” Namun, Marion tidak berargumen demikian.
Malahan, secara radikal ia berpendapat bahwa membuktikan keberadaan Tuhan
bukanlah hal yang pantas dan mendukung iman Kristen (Gschwandtner 2011, 165).
Descartes
Marion
memulai karya filosofisnya dengan menelaah pemikiran René Descartes. Namun, fokus
Marion bukan mengacu pada matematika atau permulaan ilmu pengetahuan (sains),
melainkan pada metafisika dan implikasinya pada teologi. Dua topik itulah
(metafisika dan teologi) yang merupakan kajian utama Marion. Pertama dalam
lnterpretasi Marion, metafisika Descartes terutama mengembangkan muatan
pengetahuan (epistemologis) dibandingkan memaparkan “ada” (being) secara
eksplisit dan ontologis. Praktisnya, “ada” bagi Descartes merupakan landasan
bagi ego yang berpikir. Dan, “ada” yang sama tersebut juga menyusun proses
mengada entitas-entitas lainnya. Menurut Marion, pandangan Descartes merupakan
kajian metafisika yang rnenyembunyikan sifat ontologisnya dalam epistemologi.
Kedua, Marion menelaah bahwa metafisika Descartes memiliki sifat ganda, baik
ontologis (berpikir mengenai “ada” dari berbagai entitas) dan teologis
(memikirkan tentang “ada tertinggi” sepertiTuhan).
Dengan demikian, Marion mengonfirmasikan bahwa metafisika Descartes memiliki
struktur ontoeologis seperti yang dinyatakan oleh Martin Heidegger. Bagi
Descartes, Tuhan menciptakan matematika dan logika. Kedua hal ini bergantung
pada Tuhan. Implikasinya, Tuhan juga dapat menciptakan matematika dan logika
dengan cara dan kegunaan yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain, Tuhan
tetap di atas matematika dan logika. Aspek tersebut sangat penting bagi Marion
untuk menitikberatkan pada transendensi Tuhan yang absolut dan ketidakcukupan
bahasa manusia untuk menggapai yang ilahi.
Marion berupaya keras untuk mengembangkan gagasan mengenai Tuhan yang tak dapat
diekspresikan, tetapi sekaligus mengkomunikasikannya dalam kajian filosofis yang
cermat. Dengan demikian, upaya Marion tidak mengarahkan kita pada suatu
mistisme personal yang tidak dapat dikomunikasikan. Namun, ia membuka jalur
filosofis untuk berbicara tentang Tuhan tanpa mereduksi sifat ilahinya karena
keterbatasan media komunikasi.
Fenomenologi
Marion
membaca maklumat tentang “kematian Tuhan” dalam pengertian tradisi Kristianisme
(khususnya yang dipengaruhi oleh Platonisme) dan dalam pemikiran Immanuel Kant.
Konsep Tuhan sebagai fondasi moral telah mati dalam Nietzsche. Namun, Marion
menunjukkan secara akurat bahwa yang mati adalah suatu konsep tentang Tuhan,
bukan “Tuhan” itu sendiri. Pernyataannya memberikan dua implikasi. Pertama,
“Tuhan” yang dibatasi oleh konsep tertentu bukanlah Tuhan yang sebenarnya,
tetapi hanya sebuah konsep tentang Tuhan. Dan bila Tuhan dapat dibatasi dalam
suatu gagasan atau gambaran tertentu, tentulah Tuhan menjadi berhala karena
membatasi yang ilahi dalam suatu pandangan sempit tertentu. Karena itu, sebagai
implikasi kedua, kematian konsep keberhalaan itu akan membuka peluang untuk
membicarakan Tuhan dalam bahasa yang kurang memberhalakan (Gschwandtner 201 1,
171). Fenomenologi menolak filsafat modern yang
mengandaikan “sesuatu di luar sana” (things out there) sehingga memunculkan
dikotomi subyek-obyek. Husserl mencoba mengatasi persoalan ini dengan
menyatakan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional. Dengan demikian,
melalui kesacla- ranlah kita mengakses segala hal sebagai ruang di mana kita
hidup dan mengalaminya. Proyek utama Husserl adalah memeriksa secara teliti
pengalaman hidup sehari-hari. Ia menelaah bagaimana pengalaman sehari hari
menghadirkan dirinya pada kesadaran. Di satu sisi, penjelasan ini bergantung
pada bagaimana fenomena memberikan dirinya pada kesadaran (intuisi). Di sisi
yang lain berkaitan dengan bagaimana kesadaran mengarahkan dirinya pada
fenomena (intensionalitas). Bagi Husserl, kedua proses ini saling berkaitan erat.
Dan, Marion akan memahaminya dengan cara yang berbeda.
Tuhan yang Melampaui “Ada”
Marion
mengambil bahkan merayakan gagasan Nietzsche mengenai kematian Tuhan. Baginya,
gagasan tersebut membebaskan kemanusiaan dari keterbatasan konsep mengenai yang
ilahi. Secara lebih radikal, Marion membuang semua bentuk konsep berhala
mengenai Tuhan dan yang membatasi Tuhan dalam satu cara atau penjelesan
tertentu. Marion melihat bahasa ontologi tradisional sebagai hal yang merusak.
Dengan kata lain, ia mengkritik keinginan pemikir abad pertengahan untuk
menerapkan konsep univokal “mengada” pada Tuhan dan manusia bahkan
pengada-pengada yang lain di mana Tuhan dan pengada-pengada tersebut bersifat
identik. Di sisi yang lain, Marion juga mengkritik pandangan filosofis Heidegger.
Ia memandang Heidegger berupaya mendekatkan Tuhan sebagai “Ada,” meskipun
gagasan Heidegger berbeda dengan para pemikir abad pertengahan maupun
modernisme awal. Melampaui dua batasan tersebut, Marion berupaya memikirkan
Tuhan yang tidak dipengaruhi oleh “Ada.” Marion mendapatkan bahwa segala bahasa
univokal mengenai yang ilahi selalu memiliki sifat berhala.
bagi
Marion, teologi bukan hanya merupakan pengalaman personal dan parrikular,
tetapi selalu mendahului dan bergantung pada Dasein yang primordial di mana
semua manusia mengalaminya. Marion ingin membicarakan Tuhan dalam bahasa yang
tidak musyrik. Dan itu berarti tidak menggunakan bahasa “Ada.” Ia ingin
melampaui batasan “perbedaan ontologis” yang menjadi ciri khas dalam seluruh
sejarah metafisika. Karena itu, lebih baik membicarakan Tuhan dalam bahasa
“cinta” (agapé) atau anugerah (Marion 1991, 108). Marion menunjukkan perbedaan
ontologis yang sangat besar itu dapat dilampaui dan digambarkan oleh cinta.
Cinta memungkinkan relasi antara Tuhan dan manusia, sekaligus memelihara relasi
tersebut karena kedua belah pihak tidak berupaya untuk mendefinisikan atau
mereduksi yang lain. Marion memperlihatkan bahwa cinta merupakan nama yang
paling repat untuk Tuhan karena cinta tidak dapat digambarkan dan dibatasi oleh
apapun.
Tuhan memberikan diriNya dalam keberlimpahanNya.
Untuk mengembangkan gagasannya, Marion mengontraskan gagasan mengenai idola
(idol) dan ikon (icon) secara historis. Idola dan ikon tidak hanya
merepresentasikan Tuhan dengan cara yang berbeda, tetapi juga cara melihat atau
mendekati yang ilahi. Idola bersifat konseptual. Misalnya, “Tuhan moral” yang
mati dalam “kematian Tuhan” merupakan idola konseptual. Menurut Marion, idola
adalah suatu pandangan-sekejap yang menangkap yang-ilahi dalam suatu imaji atau
konsep. Idola tersebut tentu tidak “keliru” sejauh tidak berkekurangan.
Tanggapan