Makna Ego Eimi dalam Kitab Yohannes
Pendahuluan
Dalam sejarah umat manusia yang tercatat
dalam Alkitab tidak pemah ada seorang pun yang lahir di dunia ini yang memiliki
perhatian demikian besar terhadap keselamatan umat manusia kecuali Yesus, Dia
layak digelari Gembala yang baik, karena sepanjang pelayanan-Nva di dunia ini,
Dia memikirkan kehidupan domba-domba-Nya lebih dari siapa pun. Dia
membangkitkan pengharapan orang-orang yang terpinggirkan. Dia memberikan jalan
kelepasan ketika manusia menemukan lorong buntu dalam perjalanan hidup.
Kegigihan-Nya tiada tara untuk menuntun domba-damba-Nya supaya tidak tersesat.
Puncaknya ketika dengan sukarela Dia menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai
tebusan bagi domba-domba-Nya agar luput dari penghukuman. Salah satu dalam
injil Yohannes yang menyatakan pemakaian kata Ego Eimi adalah seperti pada ayat Yohanes 6:35 ειπεν δε
αυτοις ο ιησους εγω ειμι ο αρτος της ζωης ο ερχομενος προς με ου μη πειναση και
ο πιστευων εις εμε ου μη διψηση πωποτε. Kata εγω ειμι - EGÔ EIMI dalam pandangan orang Yahudi sebagaimana
dalam bahasan di atas adalah kata yang hanya pantas diucapkan oleh YHWH saja.
namun untuk lebih jelas melihat maknanya dapat dilihat dalam penjelasan dibawah
ini
Etimologi Ego Dan Eimi
Dalam Kitab Yohanes, Yesus menggunakan bentuk Ego
Eimi yang muncul sebanyak 7 kali. Yesus mengatakan bahwa diri-Nya
adalah “Roti” (Yoh 6:35 “Ego eimi ho Artos”), “Terang Dunia” (Yoh 8:12, “Ego
eimi to Phos tou kosmou”), “Pintu” (Yoh 10:7, “Ego eimi he Thura ton
Probaton”),”Gembala” (Yoh 10:11, “Ego eimi ho Poimen ho Kalos”)
“Kebangkitan dan Hidup” (Yoh 11:25 “Ego eimi he Anastasis kai he Zoen”),
“Jalan, Kebenaran, Hidup” (Yoh 14:6, “Ego eimi ho Hodos kai he Aletheia kai
he Zoen”), “Anggur” (Yoh 15:1, “Ego eimi he Ampelos he alethine”).[1]
Kata ini muncul pertama kalinya
dalam Kitab Septuaginta untuk menerjemahkan pernyataan YHWH (Yahweh) yang
menyingkapkan nama-Nya pada Musa sbb: “Firman (Tuhan) kepada Musa: "AKU
ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang
Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." Frasa “Aku adalah Aku” dalam bahasa Ibrani adalah “Ehyeh asyer Ehyeh” yang secara literal diterjemahkan
dengan “Aku ada yang Aku ada”. Dalam naskah Septuaginta (terjemahan TaNaKh
dalam bahasa Yunani) diterjemahkan, “Ego eimi ho on [2]. Sama seperti ucapan-ucapan 'AKULAH
DIA' dalam Kitab Yesaya, ucapan-ucapan EGÔ EIMI dalam Injil Yohanes
menyatakan bahwa Allah adalah Yang satu-satunya. Ini tampak dari pernyataan
Yesus dalam ucapan-ucapan "AKU ADALAH" yang diikuti dengan
predikat, Yesus Kristus mengatakan Dialah
Jalan satu-satunya bagi mereka yang mau datang kepada Bapa (Yohanes
14:6).
Ia memakai gagasan dari Perjanjian
Lama ketika Ia menyatakan diri-Nya sebagai Gembala Yang Baik dan Pokok Anggur yang Benar; tidak ada
orang lain yang dapat memakai gelar-gelar itu. Semua orang yang datang sebelum
Dia adalah pencuri dan perampok, tetapi Dia adalah pintu dan barang siapa yang
masuk melalui Dia akan selamat (Yohanes 10:8,9). Perkataan "kamu akan mati
dalam dosamu'' (Yohanes 8:24) menunjukkan hanya Tuhan Yesus yang dapat
mengampuni dan pengampunan itu terjadi hanya melalui kepercayaan kepada Dia
sebagai Yang sama dengan Allah. Bahasa seperti itu dan khususnya dalam
rumusannya menurut Pengakuan Iman Nicea, "berarti Allah dapat dikenal dan
ditanggapi hanya melalui Yesus Kristus dan dengan demikian segala hidup
keagamaam diluar kepercayaan Yahudi-Kristen berada diluar tingkupan
penyelamatan oleh Allah" (J Hick, Jesus and The World Religion 1977,
hlm. 174). Hick sendiri menolak teologi seperti ini, dengan alasan agama
Kristen pada masa kini harus berhadapan dengan agama-agama lain.Namun Hick
menganggap Injlil Yohanes ditulis di Efesus menjelang akhir abad pertama. Jika
ini benar, maka Injil Yohanes ditujukan kepada jemaat yang sudah biasa
berhadapan dengan agama-agama lain dalam situasi yang hampir sama dengan masa
kini Yohanes tidak memandang Kristus sebagai semacam ilah yang mengambil alih
kedudukan ilah-ilah lain di Efesus dan Asia Kecil, sehingga seperti yang
dikatakan Hick dalam bukunya:
"Keselamatan
dalam semua agama dilaksanakan oleh Logos. seiap bangsa memakai lambang-lambang
yang berbeda-beda, namun semua orang dalam budaya dan agama yang berbeda dapat
bertemu. dengan Logos itu dan memperoleh keselamatan.
Justru
sebaliknya Yohanes menggambarlan Kristus sebagai seorang yang menyebut diri-Nya
sendiri dengan kata-kata yang hanya dipakai untuk YHVH yaitu: YHVH saja Allah
satu-satunya, bukan ilah-ilah bangsa-bangsa lain, Sungguh ironis, Hick justru
memakai istilah Logos untuk Kristus yang diciptakan oleh imajinasinya itu,
padahal Logos merupakan istilah yang langsung menyatakan kesamaan hakikat Yesus
dengan Allah.
Sejarah Penggunaan kata EGO Dan EIMi [3]
Menurut mereka Injil Yohanes hendaknya
dipandang sebagai tulisan orang Kristen pada kemudian hari, yang tidak memuat
catatan historis tentang kata-kata Yesus. Dengan demikian, mereka berharap
Kristianitas tidak lagi akan menafsirkan inkarnasi secara harfiah (Hick, 1977,
hlm. 1 ). Jelaslah kata-kata yang merupakan batu sandungan untuk para pendengar
Yesus Kristus, masih menjadi batu sandungan bagi para penganut pluralisme agama
yang membaca Injil Yohanes pada saat ini. Bedanya para penganut pluralisme
agama tidak ingin mengecam Yesus "historis" yang menyebut diri-Nya
seperti itu; mereka justru mengecam gereja dan menganggapnya terlalu sombong
karena menyamakan Yesus Kristus dengan Allah Israel yanlg satu-satunya itu.
Pada masa kini, sekali lagi Yesus Kristus yang dilukiskan dalam Injil Yohanes
itu harus "menghilang dan meninggalkan Bait Allah" (Yohanes 8:59).
Sekalipun demikian, selama ada
pengikut-pengikut Yesus dalam dunia, pastilah Ia tetap menjadi Terang Dunia (Yohanes 9:5). Yesus Kristus yang
digambarkan Yohanes akan terus menjawab kebutuhan mereka. yang buta sejak lahir
sekalipun mungkin saja mereka juga akan dikucilkan, sebab sudah diputuskan
bahwa mereka yang mengaku Yesus sebagai Mesias
(Kristus) akan dikucilkan (Yohanes 9:22).
Dalam artikel ini, akan dibahas kata-kata yang
menyertai ucapan "εγω ειμι - EGÔ EIMI" dalam
Injil Yohanes yang mengacu pada latar belakangnya dalam Perjanjian Lama (salah
satunya dalam Kitab Yesaya). Yesaya memberi latar be lakang utama dari ucapan "εγω
ειμι - EGÔ EIMi" dalam Injil Yohanes. Bukan hanya kata-kata dari rumusan
itu yang mengarahkan perhatian pembaca kepada Kitab Yesaya, melainkan juga
perumusannya. Perhatikan struktur dua ayat berikut ini yang maknanya mungkin
lebih dari sekedar mengatakan bahwa Yesus adalah Kristus.
Lebih lanjut Ajith menulis, “Dalam
versi terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani atau lebih dikenal dengan Septuaginta, yang sangat populer di abad pertama,
saat para penerjemah sampai kepada kata-kata untuk Elohim, “mereka kelihatannya berpikir
bahwa kata-kata itu harus diterjemahkan berbeda dari kata-kata untuk manusia.”
Sehingga “mereka cenderung menggunakan bentuk penegasan dengan kata ganti “I”
Ucapan
Yesus Akulah Dia
Ucapan Yesus bahwa Dialah yang bersaksi tentang
diri-Nya sendiri (egô eimi ho marturôn peri emautou). Ucapan ini sangat mungkin
mencerminkan kata-kata dari Yesaya 43:10 dan juga apa yang dikatakan tentang
seorang saksi dalam Ulangan 19:15 . Teks Ibrani dari Yesaya 43:10
tampaknya menyamakan Israel dengan Hmba Tuhan sebagai seorang saksi , jadi
tepatlah terjemahan "Kamu inilah saksi-saksi-Ku demikianlah firman TUHAN,
dan hamba-Ku yang telah Kupilih": Tetapi dalam Septuaginta Yesaya 43:10
berbicara tentang tiga saksi: "orang-orang yang disapa, Allah sendiri, dan
Hamba-Nya, ketiganya memberi kesaksian tentang keunikan Allah orang
Ibrani".[4] Lebih
dahulu (ayat 9) Tuhan Allah berseru kepada bangsa-bangsa supaya mereka membawa
saksi-saksinya lalu Ia berseru kepada Israel untuk menjadi saksi bagi Dia.
Tuhan Allah juga adalah saksi, demikian pula hamba yang dipilih-Nya. Jika
sebutan Yesus terhadap dirinya sebagai saksi, merupakan kutipan Yesaya 43:10,
maka bukan EGÔ EIMI melainkan kata-kata di sekitarnya yang membuat maknanya
jelas dalam Injil Yohanes. Yesus mengambil peran saksi dari nats dalam Kitab
Yesaya tersebut dan menerapkannya kepada diri-Nya sendiri .
Dalam Kitab Yesaya, Tuhan Allah berbicara tentang
sifat hamba yang dipilih-Nya dan yang dipanggil-Nya untuk menjadi saksi bagi
Dia. Hamba ini dipilih:
" ...
menjadi perjanjian bagi umat manusia,
menjadi terang untuk bangsa-bangsa,
untuk membuka mata yang buta,
untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan
dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara" (Yesaya 42:6,7)
menjadi terang untuk bangsa-bangsa,
untuk membuka mata yang buta,
untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan
dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara" (Yesaya 42:6,7)
Sebagai
orang yang menjadi terang untuk bangsa-bangsa, hamba Tuhan harus bersaksi
tentang Dia (Yesaya 43:10). Teks Yunani dari Yesaya menyebutkan bahwa Tuhan
Allah akan bersaksi tentang Hamba itu, seperti Bapa bersaksi tentang Yesus
dalam Injil Yohanes. Karena itu ketika Yesus mengatakan bahwa Ia bersaksi, Ia
mengambil alih tugas yang dipercayakan kepada Hamba itu dalam Kitab Yesaya.
Peran Yesus sebagai saksi yang sah mulai dibicarakan dalam Injil Yohanes ketika
Ia berkata bahwa Dia adalah Terang Dunia yang akan memberi terang hidup kepada
mereka yang mengikuti-Nya (Yohanes 8:12,13) . Yesus memenuhi tugas seorang
hamba dan karena itu kesaksian-Nya itu benar, sebab Hamba yang dipilih itu
ditugaskan untuk bersaksi dan membawa terang . Menurut Yohanes 8:18, Bapa
dan Yesus sama-sama menggenapi apa yang dikatakan Yesaya dan juga menggenapi
(secara tidak langsung) apa yang diminta sebagai syaratuntuk saksi yang benar
menurut Ulangan 19:15 .
Bila benar pernyataan Yesus tentang diri-Nya sendiri sebagai saksi, mengacu kepada kesaksian Hamba Tuhan dalam Yesaya 43:10, kita dapat mempertanyakan apa isi kesaksian hamba itu? Di sinilah latar belakang dari ucapan "Akulah Dia" dan ucapan-ucapan yang serupa dalam Yohanes 8:24 dan 28 menyentuh soal pluralisme. Hamba itu memberi kesaksian tentang pernyataan YHWH yang menyatakan diri-Nya sebagai Allah dan Juruselamat satu-satunya. McKenzie (1968: hlm. 53-54) mengatakan:
Bila benar pernyataan Yesus tentang diri-Nya sendiri sebagai saksi, mengacu kepada kesaksian Hamba Tuhan dalam Yesaya 43:10, kita dapat mempertanyakan apa isi kesaksian hamba itu? Di sinilah latar belakang dari ucapan "Akulah Dia" dan ucapan-ucapan yang serupa dalam Yohanes 8:24 dan 28 menyentuh soal pluralisme. Hamba itu memberi kesaksian tentang pernyataan YHWH yang menyatakan diri-Nya sebagai Allah dan Juruselamat satu-satunya. McKenzie (1968: hlm. 53-54) mengatakan:
"Di
sini monoteisme Deutero-Yesaya kelihatan sejelas-jelasnya. Israel dapat bersaksi
bahwa hanya YHWH saja Allah, bahwa Ia kekal. Israel dapat bersaksi
tentang kuasa dan kebebasan-Nya, karena Israel telah mengalami kuasa dan
kebebasan itu dalam sejarah mereka. Hanya YHWH saja yang menghakimi
dan menyelamatkan; tiada ilah atau manusia yang dapat menghalangi
karya-Nya."
Yesus mengemban tugas bersaksi yang disebutkan dalam
Yesaya 43:10 dan dengan demikian secara tak langsung Ia bersaksi juga tentang
kuasa untuk menyelamatkan yang dimiliki Allah saja. Dengan menyebut diri-Nya
sebagai "Akulah Dia" Yesus juga menyatakan secara tak langsung bahwa
keselamatan itu terjadi melalui diri-Nya sendiri. Ucapan "Akulah Dia"
berikut dalam Yohanes 8 menegaskan hanya Yesus saja yang menyelamatkan.[5]
Sangat mengesankan, Yesus menyebut diri-Nya sendiri dengan
suatu ungkapan dalam Kitab Yesaya yang hanya digunakan untuk Allah sendiri.
Memang frase EGÔ EIMI tidak dipakai hanya oleh Yesus saja dalam Injil
Yohanes (lihat 9:9). Namun cara Yesus memakai ungkapan itu begitu erat
menyamakan diri-Nya dengan karya penyelamatan YHVH, bahkan
dengan YHVH sendiri, sehingga EGÔ EIMI itu searti dengan
ucapan "Aku dan Bapa adalah satu" (10:30). Orang Yahudi memahami
bahwa dengan berkata demikian Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (10:33),
sehingga mereka hendak melempari Dia dengan batu. Reaksi ini menegaskan kepada
pembaca bahwa orang Yahudi itu memahami kata-kata dalam Yohanes 8:58 dengan
cara yang sama. Dalam Kitab Yesaya frase 'ANI HU diucapkan TUHAN
untuk menyatakan hak-Nya yang eksklusif atas umat-Nya. Karena itu jika ada
orang yang mengutip frase tersebut dalam konteks seperti itu dan menyebut
dirinya demikian, maka orang itu menyombongkan diri secara keterlaluan.
Demikianlah penilaian orang Yahudi terhadap ucapan Yesus. Tetapi dari sudut
pandangan Injil Yohanes, bukanlah Yesus yang menyamakan diri-Nya dengan Allah,
melainkan sebaliknya: Firman yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah dan
adalah Allah telah menjadi manusia (sarx egeneto, 1:14).
Karena dalam Injil Yohanes, kata-kata tersebut diucapkan oleh Yesus, maka setidaknya itu berarti bahwa jemaat penganut ajaran Yohanes memandang kata-kata itu bukan hanya sebagai pengakuan mereka saja, melainkan sebagai kebenaran mengenai jati diri Yesus. Dari segi kristologi Yohanes, Yesus adalah unik, bukan karena apa yang Allah lakukan melalui Dia sebagai manusia, melainkan karena Ia sendiri bersifat ilahi (lihat Wright 1990: hlm. 22). Yohanes 8:58 berbicara tentang kodrat ilahi Yesus yang ada sebelum Abraham ada. Perkataan prin abraam genesthai egô eimi dalam Yohanes 8:58 yang membuat orang Yahudi marah sekali masih sangat dibenci oleh orang Yahudi dan orang Islam masa kini, karena kata-kata itu menyamakan hakikat Yesus dengan hakikat Allah. Mereka menolak keras pandangan bahwa Allah menjadi manusia; seseorang menyamakan diri dengan Allah dianggap menghujat Allah
Karena dalam Injil Yohanes, kata-kata tersebut diucapkan oleh Yesus, maka setidaknya itu berarti bahwa jemaat penganut ajaran Yohanes memandang kata-kata itu bukan hanya sebagai pengakuan mereka saja, melainkan sebagai kebenaran mengenai jati diri Yesus. Dari segi kristologi Yohanes, Yesus adalah unik, bukan karena apa yang Allah lakukan melalui Dia sebagai manusia, melainkan karena Ia sendiri bersifat ilahi (lihat Wright 1990: hlm. 22). Yohanes 8:58 berbicara tentang kodrat ilahi Yesus yang ada sebelum Abraham ada. Perkataan prin abraam genesthai egô eimi dalam Yohanes 8:58 yang membuat orang Yahudi marah sekali masih sangat dibenci oleh orang Yahudi dan orang Islam masa kini, karena kata-kata itu menyamakan hakikat Yesus dengan hakikat Allah. Mereka menolak keras pandangan bahwa Allah menjadi manusia; seseorang menyamakan diri dengan Allah dianggap menghujat Allah
Beberapa ahli berpendapat, kata-kata
ini hanya mencerminkan pengakuan iman jemaat Kristen mula-mula. Pendapat ini
tidak hanya menyangkal kebenaran kata-kata itu sebagai kesaksian tentang Yesus,
tetapi juga mengabaikan bahwa jemaat penganut Yohanes meyakini hakikat Yesus
sama dengan Allah. Bagi penulis Injil Yohanes inkarnasi bukanlah mitos dan
tidak hanya menyatakan apa yang mereka lihat tentang Allah dalam diri
Yesus . Firman menjadi manusia bukan hanya suatu tafsiran tentang makna
Yesus (demikianlah pendapat Wiles 1977: hlm. 2), melainkan sungguh-sungguh
makna Yesus sendiri. Seandainya Anak itu tidak datang dan diam di antara
manusia, maka Bapa tidak akan dinyatakan (1:14,18). Bagi Yohanes, Anak itu
dapat menyatakan Bapa bukan hanya karena Ia ada dalam pangkuan Bapa, melainkan
karena Ia adalah Firman yang pada mulanya ada bersama-sama dengan Allah.
Singkatnya, Ia adalah Allah. Penyamaan Yesus dengan Allah secara hakiki (ontologis),
merupakan dasar bagi pemakaian ucapan EGÔ EIMI yang dikemukakan di
atas.
Penyamaan ini merupakan dasar kristologi Yohanes. Wiles (1977: hlm. 3) mengatakan, "inkarnasi tidak langsung dinyatakan dalam Alkitab". Pendapat ini salah sama sekali (bandingkan Yohanes 1:1 dan 1:14) kecuali bila yang dimaksudkan ialah bahwa inkarnasi tidak diungkapkan dalam Alkitab sebagai rumusan pengakuan gereja. Bahkan pengecualian ini juga tidak benar seluruhnya mengingat apa yang dikatakan dalam Ibrani 1:2 dan Filipi 2:6. Menurut Wiles (hlm. 4) "Injil yang keempat (yang paling mendekati ajaran ini) juga tidak menegaskan ajaran tentang inkarnasi yang diterima pada abad-abad kemudian". Sebaliknya, dalam bagian akhir Injil Yohanes, Tomas mengaku Yesus sebagai "Tuhan dan Allahku" dan Yesus menerima pengakuan itu (Yohanes 20:28).
Penyamaan ini merupakan dasar kristologi Yohanes. Wiles (1977: hlm. 3) mengatakan, "inkarnasi tidak langsung dinyatakan dalam Alkitab". Pendapat ini salah sama sekali (bandingkan Yohanes 1:1 dan 1:14) kecuali bila yang dimaksudkan ialah bahwa inkarnasi tidak diungkapkan dalam Alkitab sebagai rumusan pengakuan gereja. Bahkan pengecualian ini juga tidak benar seluruhnya mengingat apa yang dikatakan dalam Ibrani 1:2 dan Filipi 2:6. Menurut Wiles (hlm. 4) "Injil yang keempat (yang paling mendekati ajaran ini) juga tidak menegaskan ajaran tentang inkarnasi yang diterima pada abad-abad kemudian". Sebaliknya, dalam bagian akhir Injil Yohanes, Tomas mengaku Yesus sebagai "Tuhan dan Allahku" dan Yesus menerima pengakuan itu (Yohanes 20:28).
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan, melalui frase EGÔ EIMI, Yohanes memperlihatkan Yesus sebagai penggenapan nubuat-nubuat Yesaya . Nubuat-nubuat itu menggambarkan saat, ketika TUHAN sendiri akan menebus umat-Nya dab membawa mereka pulang ke negeri mereka sendiri. TUHAN saja yang dapat berbuat demikian, karena Dialah Pencipta dan juga TUHAN atas sejarah. Ilah-ilah Babel tidak dapat berbuat demikian. Ketika Yesus berkata "Akulah Dia" seperti yang terdapat dalam Kitab Yesaya, Ia tidak hanya menyamakan diri dengan Allah Israel yang esa dan sejati, tetapi juga menyatakan bahwa hari penyelamatan itu sedang digenapi dalam Dia. Gambaran Yohanes tentang Yesus langsung bertolak belakang dengan pandangan Hick (1977: hlm. 173-174). Menurut Yohanes, Yesus terlebih dahulu menyatakan diri-Nya sama dengan Allah, baru kemudian Dia disembah sebagai Allah, bukan sebaliknya. Yohanes tidak mengatakan bahwa Yesus hanya diakui atau disembah sama dengan Allah, melainkan Yesus sendiri yang menyamakan diri-Nya dengan Allah. Justru ungkapan inilah yang menimbulkan perlawanan dari para pendengar-Nya (Yohanes 8:59; 10:31-33). Ungkapan ini juga yang menyebabkan Hick dan Wiles menganjurkan agar Injil Yohanes tidak dianggap bersifat sejarah . Menurut mereka Injil Yohanes hendaknya dipandang sebagai tulisan orang Kristen pada kemudian hari, yang tidak memuat catatan historis tentang kata-kata Yesus. Dengan demikian, mereka berharap, agama Kristen tidak lagi akan menafsirkan inkarnasi secara harfiah (Hick 1977: hlm. 183). Jelaslah kata-kata yang merupakan batu sandungan untuk para pendengar Yesus, masih menjadi batu sandungan bagi para penganut pluralisme agama yang membaca Injil Yohanes pada saat ini. Bedanya, para penganut pluralisme agama tidak ingin mengecam Yesus "historis" yang menyebut diri-Nya seperti itu; mereka justru mengecam gereja dan menganggapnya terlalu sombong karena menyamakan Yesus dengan Allah Israel yang satu-satunya itu. Pada masa kini, sekali lagi Yesus yang dilukiskan dalam Injil Yohanes itu harus "menghilang dan meninggalkan Bait Allah" (Yohanes 8:59). Sekalipun demikian, selama ada pengikut-pengikut Yesus dalam dunia, pastilah Ia tetap menjadi terang dunia (Yohanes 9:5). Yesus yang digambarkan Yohanes akan terus menjawab kebutuhan mereka yang buta sejak lahir, sekalipun mungkin saja mereka juga akan dikucilkan, sebab sudah diputuskan bahwa mereka yang mengaku Yesus sebagai Mesias akan dikucilkan (Yohanes 9:22).
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan, melalui frase EGÔ EIMI, Yohanes memperlihatkan Yesus sebagai penggenapan nubuat-nubuat Yesaya . Nubuat-nubuat itu menggambarkan saat, ketika TUHAN sendiri akan menebus umat-Nya dab membawa mereka pulang ke negeri mereka sendiri. TUHAN saja yang dapat berbuat demikian, karena Dialah Pencipta dan juga TUHAN atas sejarah. Ilah-ilah Babel tidak dapat berbuat demikian. Ketika Yesus berkata "Akulah Dia" seperti yang terdapat dalam Kitab Yesaya, Ia tidak hanya menyamakan diri dengan Allah Israel yang esa dan sejati, tetapi juga menyatakan bahwa hari penyelamatan itu sedang digenapi dalam Dia. Gambaran Yohanes tentang Yesus langsung bertolak belakang dengan pandangan Hick (1977: hlm. 173-174). Menurut Yohanes, Yesus terlebih dahulu menyatakan diri-Nya sama dengan Allah, baru kemudian Dia disembah sebagai Allah, bukan sebaliknya. Yohanes tidak mengatakan bahwa Yesus hanya diakui atau disembah sama dengan Allah, melainkan Yesus sendiri yang menyamakan diri-Nya dengan Allah. Justru ungkapan inilah yang menimbulkan perlawanan dari para pendengar-Nya (Yohanes 8:59; 10:31-33). Ungkapan ini juga yang menyebabkan Hick dan Wiles menganjurkan agar Injil Yohanes tidak dianggap bersifat sejarah . Menurut mereka Injil Yohanes hendaknya dipandang sebagai tulisan orang Kristen pada kemudian hari, yang tidak memuat catatan historis tentang kata-kata Yesus. Dengan demikian, mereka berharap, agama Kristen tidak lagi akan menafsirkan inkarnasi secara harfiah (Hick 1977: hlm. 183). Jelaslah kata-kata yang merupakan batu sandungan untuk para pendengar Yesus, masih menjadi batu sandungan bagi para penganut pluralisme agama yang membaca Injil Yohanes pada saat ini. Bedanya, para penganut pluralisme agama tidak ingin mengecam Yesus "historis" yang menyebut diri-Nya seperti itu; mereka justru mengecam gereja dan menganggapnya terlalu sombong karena menyamakan Yesus dengan Allah Israel yang satu-satunya itu. Pada masa kini, sekali lagi Yesus yang dilukiskan dalam Injil Yohanes itu harus "menghilang dan meninggalkan Bait Allah" (Yohanes 8:59). Sekalipun demikian, selama ada pengikut-pengikut Yesus dalam dunia, pastilah Ia tetap menjadi terang dunia (Yohanes 9:5). Yesus yang digambarkan Yohanes akan terus menjawab kebutuhan mereka yang buta sejak lahir, sekalipun mungkin saja mereka juga akan dikucilkan, sebab sudah diputuskan bahwa mereka yang mengaku Yesus sebagai Mesias akan dikucilkan (Yohanes 9:22).
Daftar
Pustaka
Baker, David L
2006 Satu Alkitab Dua Perjanjian, Suatu studi
tentang hubungan teologis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, BPK
Gunung MuliA, Jakarta
Conzelmann, Hans
1953 The
Theology of st Luke, Harper & Row, New York & London
Gutri Donal
1993 Teologi
Perjanjian Baru 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Morris, Leon
1987 Reflection
on The Gospel of John, vol. 2, Grand Rapids
[3] Leon Morris, Reflection on The Gospel of John, vol. 2,
Grand Rapids, 1987 hal 37
[4] Bnd.
David L Baker, Satu Alkitab Dua
Perjanjian, Suatu studi tentang hubungan teologis antara Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, BPK Gunung MuliA, Jakarta 2006: hlm. 167.
[5] Bnd.Hans
Conzelmann, The Theology of st Luke,
Harper & Row, New York & London 1953: hlm.172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar