Sejarah Gereja Kristen Protestan Bali
PENDAHULUAN
Gambaran Umum Bali
Gambaran Umum Bali
Wilayah, Letak, dan Keadaan Geografis
Propinsi Bali merupakan salah satu dari 34 Propinsi yang ada di Indonesia. Propinsi Bali terdiri dari Pulau Bali, Pulau Nusa Penida serta beberapa Pulau-pulau kecil lainnya memiliki luas wilayah 5.632,82 kilometer persegi. Secara administrasi Pulau Bali terdiri dari delapan Kabupaten, satu wilayah kota, 53 kecamatan dan 658 Desa/Kelurahan, 3563 Banjar/Dusun/lingkungan. Daerah Bali berada pada posisi 7 54 dan 8 3 lintang selatan dan 114,25 dan 115 43 Bujur timur. Pulau Bali memiliki letak yang sangat strategis, karena menghubungkan lalu lintas laut dan darat antara Pulau Jawa dengan Nusa tenggara. Bali juga terletak antara Benua Asia dan Australia. Secara geografis ditengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan memanjang dari barat ke timur.
Iklim
Daerah Bali termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim yang berganti setiap enam bulan sekali. Daerah Bali memiliki dua musim yang berganti setiap enam bulan sekali. Daerah Bali memiliki dua musim yaitu musim kemarau antara bulan April sampai Oktober dan musim hujan antara bulan Oktober sampai April. Temperatur udara bervariasi antara 24 derajat celcius dan 30 derajat celcius. Curah hujan dalam lima tahun terakhir bervariasi antara terendah 893,4 milimeter dan tertinggi 2.702,6 milimeter untuk rata-rata tahunan. Kelembabban udara rata-rata 79%.
Penududuk dan Identitas
Jumlah penduduk Propinsi Bali menurut sensus penduduk terakhir menurut badan pusat statistik bali sebesar 3.146.999 jiwa. Empat sensus sebelumnya mencatat jumlah penduduk Bali sebagai berikut : 1930 sebanyak 1.101.029 jiwa, sensus 1961 sebanyak 1.782.529 jiwa dan sensus 1971 sebanyak 2.120.091 jiwa, sensus 1980 sebanyak 2.469.930 jiwa. Orang Bali disamping berdomisili di propinsi Bali, juga tersebar di berbagai Propinsi lain di Indonesia sebagai transmigran.
Orang Bali atau suku Bali merupakan salah satu suku yang berdomisili di kepulauan Indonesia. Suku Bali merupakan kelompok yang terikat oleh kesadaran atau satu kesatuan kebudayaan daerah Bali maupun kebudayaan nasional Indonesia. Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan Bali diperkuat oleh adanya kesatuan bangsa dan kesatuan agama Hindu. Bahasa Bali memiliki tradisi sastra, baik berupa tertulis maupun lisan dan didukung oleh system aksara tersendiri.
Orang-orang Bali tradisional sangat terikat pada segi-segi kehidupan mereka seperti :
1. Kewajiban melakukan pemujaan Pura tertentu.
2. Pada satu tempat tinggal atau komunitas;
3. Pada pemilikan tanah pertanian dalam satu subak tertentu;
4. Pada satu status sosial atas dasar warna;
5. Pada ikatan kekerabatan pada prinsip patrilineal;
6. Pada keanggotaan terhadap sekehe tertentu;
7. Pada satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu.
Keanekaragaman
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki banyak keunikkan, baik karena alam maupun kebudayaannya. Bali adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hal ini terjadi setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit yang semula adalah Kerajaan Hindu ke tangan Kerajaan Islam. Masyarakat Bali terbentuk dari penyatuan berbagai macam perbedaan, mulai dari perbedaan suku, ras, kebudayaan, kepercayaan, dan lainlainnya. Salah satu perbedaannya yaitu kepercayaan (Agama).
Keanekaragaman agama dan kebudayaan di Indonesia khususnya Bali tidak lepas dari pengaruh kedatangan bangsa barat ke Indonesia yang dapat dilihat dari pengaruh kebijakan kolonial yang ada pada jaman kolonial. Bali yang identik dengan Pura Seribu Pura dengan, susunan masyarakat serta kepercayaan asli Bali, tidak menutup kemungkinan untuk masuknya agama lain. Namun, selain Agama Hindu sebagai agama mayoritas terdapat juga penganut agama lain seperti Agama Islam, Kristen dan Budha lengkap dengan tempat beribadah masing-masing tersebut. Salah satu Agama yang akan dibahas dari latar belakang ini yaitu agama Kristen baik Kristen Protestan atau Katolik. Meskipun secara empirik dalam masyarakat Bali terdapat komunitas-komunitas keagamaan lain seperti Kristen, Islam, Budha serta aliran-aliran kepercayaan lain. Agama Kristen merupakan Agama yang tersebar hampir di seluruh kabupaten di Bali, yaitu Kabupaten Badung, Tabanan, Bangli, Buleleng, Karangasem, Gianyar,Jembrana, Klungkung, dan Denpasar.
PEMBAHASAN
Pesan dan makna yang dikandung dari setiap arsitektur gereja tidak lepas dari tiga fungsi utama Gereja yaitu persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia) dan hubungannya dengan arsitektur.
Persekutuan (Koinonia) Arti persekutuan di dalam fungsi Gereja dalah semua aktivitas di dalam gereja yang mengutamakan perkumpulan antara orangorang seiman, pertemuan manusia dengan Allah dan pertemuan antara manusia.Perwujudan fungsi persekutuan itu tercermin dalam fungsi gereja sebagai.persekutuan jemaat. Persekutuan ini dilakukan di dalam ruang-ruang utama (ruang kebaktian) dan ruang-ruang penunjang lainnya.
Kesaksian (Marturia) Secara Konseptual, fungsi kesaksian pada arsitektur gereja ditekankan pada simbolisasi aktifitas-aktifitas yang terjadi didalamnya dibuat untuk dapat menyiarkan secara langsung meupun tidak langsung semangat Kristiani bagi orang-orang yang mengapresiasinya.
Pelayanan (Diakonia) Gereja mempunyai tugas atau fungsi pelayanan, agar manusia dapat semakin dekat dengan Tuhan.Pelayanan gereja adalah simbol kasih Tuhan untuk mengasihi semua orang. Fungsi pelayanan gereja ini semakin penting dirasakan, terutama ketika gereja berhadapan dengan begitu banyak dan kompleksnya persoalan manusia di kota. Akibat berkembang pesatnya peradaban manusia tersebut menuntut peran Gereja yang lebih besar untuk melayani semua manusia (misi gereja).
Propinsi Bali merupakan salah satu dari 34 Propinsi yang ada di Indonesia. Propinsi Bali terdiri dari Pulau Bali, Pulau Nusa Penida serta beberapa Pulau-pulau kecil lainnya memiliki luas wilayah 5.632,82 kilometer persegi. Secara administrasi Pulau Bali terdiri dari delapan Kabupaten, satu wilayah kota, 53 kecamatan dan 658 Desa/Kelurahan, 3563 Banjar/Dusun/lingkungan. Daerah Bali berada pada posisi 7 54 dan 8 3 lintang selatan dan 114,25 dan 115 43 Bujur timur. Pulau Bali memiliki letak yang sangat strategis, karena menghubungkan lalu lintas laut dan darat antara Pulau Jawa dengan Nusa tenggara. Bali juga terletak antara Benua Asia dan Australia. Secara geografis ditengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan memanjang dari barat ke timur.
Iklim
Daerah Bali termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim yang berganti setiap enam bulan sekali. Daerah Bali memiliki dua musim yang berganti setiap enam bulan sekali. Daerah Bali memiliki dua musim yaitu musim kemarau antara bulan April sampai Oktober dan musim hujan antara bulan Oktober sampai April. Temperatur udara bervariasi antara 24 derajat celcius dan 30 derajat celcius. Curah hujan dalam lima tahun terakhir bervariasi antara terendah 893,4 milimeter dan tertinggi 2.702,6 milimeter untuk rata-rata tahunan. Kelembabban udara rata-rata 79%.
Penududuk dan Identitas
Jumlah penduduk Propinsi Bali menurut sensus penduduk terakhir menurut badan pusat statistik bali sebesar 3.146.999 jiwa. Empat sensus sebelumnya mencatat jumlah penduduk Bali sebagai berikut : 1930 sebanyak 1.101.029 jiwa, sensus 1961 sebanyak 1.782.529 jiwa dan sensus 1971 sebanyak 2.120.091 jiwa, sensus 1980 sebanyak 2.469.930 jiwa. Orang Bali disamping berdomisili di propinsi Bali, juga tersebar di berbagai Propinsi lain di Indonesia sebagai transmigran.
Orang Bali atau suku Bali merupakan salah satu suku yang berdomisili di kepulauan Indonesia. Suku Bali merupakan kelompok yang terikat oleh kesadaran atau satu kesatuan kebudayaan daerah Bali maupun kebudayaan nasional Indonesia. Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan Bali diperkuat oleh adanya kesatuan bangsa dan kesatuan agama Hindu. Bahasa Bali memiliki tradisi sastra, baik berupa tertulis maupun lisan dan didukung oleh system aksara tersendiri.
Orang-orang Bali tradisional sangat terikat pada segi-segi kehidupan mereka seperti :
1. Kewajiban melakukan pemujaan Pura tertentu.
2. Pada satu tempat tinggal atau komunitas;
3. Pada pemilikan tanah pertanian dalam satu subak tertentu;
4. Pada satu status sosial atas dasar warna;
5. Pada ikatan kekerabatan pada prinsip patrilineal;
6. Pada keanggotaan terhadap sekehe tertentu;
7. Pada satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu.
Keanekaragaman
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki banyak keunikkan, baik karena alam maupun kebudayaannya. Bali adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hal ini terjadi setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit yang semula adalah Kerajaan Hindu ke tangan Kerajaan Islam. Masyarakat Bali terbentuk dari penyatuan berbagai macam perbedaan, mulai dari perbedaan suku, ras, kebudayaan, kepercayaan, dan lainlainnya. Salah satu perbedaannya yaitu kepercayaan (Agama).
Keanekaragaman agama dan kebudayaan di Indonesia khususnya Bali tidak lepas dari pengaruh kedatangan bangsa barat ke Indonesia yang dapat dilihat dari pengaruh kebijakan kolonial yang ada pada jaman kolonial. Bali yang identik dengan Pura Seribu Pura dengan, susunan masyarakat serta kepercayaan asli Bali, tidak menutup kemungkinan untuk masuknya agama lain. Namun, selain Agama Hindu sebagai agama mayoritas terdapat juga penganut agama lain seperti Agama Islam, Kristen dan Budha lengkap dengan tempat beribadah masing-masing tersebut. Salah satu Agama yang akan dibahas dari latar belakang ini yaitu agama Kristen baik Kristen Protestan atau Katolik. Meskipun secara empirik dalam masyarakat Bali terdapat komunitas-komunitas keagamaan lain seperti Kristen, Islam, Budha serta aliran-aliran kepercayaan lain. Agama Kristen merupakan Agama yang tersebar hampir di seluruh kabupaten di Bali, yaitu Kabupaten Badung, Tabanan, Bangli, Buleleng, Karangasem, Gianyar,Jembrana, Klungkung, dan Denpasar.
PEMBAHASAN
Pesan dan makna yang dikandung dari setiap arsitektur gereja tidak lepas dari tiga fungsi utama Gereja yaitu persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia) dan hubungannya dengan arsitektur.
Persekutuan (Koinonia) Arti persekutuan di dalam fungsi Gereja dalah semua aktivitas di dalam gereja yang mengutamakan perkumpulan antara orangorang seiman, pertemuan manusia dengan Allah dan pertemuan antara manusia.Perwujudan fungsi persekutuan itu tercermin dalam fungsi gereja sebagai.persekutuan jemaat. Persekutuan ini dilakukan di dalam ruang-ruang utama (ruang kebaktian) dan ruang-ruang penunjang lainnya.
Kesaksian (Marturia) Secara Konseptual, fungsi kesaksian pada arsitektur gereja ditekankan pada simbolisasi aktifitas-aktifitas yang terjadi didalamnya dibuat untuk dapat menyiarkan secara langsung meupun tidak langsung semangat Kristiani bagi orang-orang yang mengapresiasinya.
Pelayanan (Diakonia) Gereja mempunyai tugas atau fungsi pelayanan, agar manusia dapat semakin dekat dengan Tuhan.Pelayanan gereja adalah simbol kasih Tuhan untuk mengasihi semua orang. Fungsi pelayanan gereja ini semakin penting dirasakan, terutama ketika gereja berhadapan dengan begitu banyak dan kompleksnya persoalan manusia di kota. Akibat berkembang pesatnya peradaban manusia tersebut menuntut peran Gereja yang lebih besar untuk melayani semua manusia (misi gereja).
Sejarah Pendirian Gereja Kristen Protestan di Bali
Persekutuan diantara orang-orang Kristen yang berada di Denpasar, rupanya telah terjadi sebelum terbentuknya Jemaat Denpasar. Pada bulan Agustus 1952, RP bersurat kepada Ds. Henk J. Visch di Winasen, Holland untuk datang kembali ke Indonesia (Bali) karena RP akan membuka kembali Sekolah Guru Injil di “Pesraman” Penyobekan Denpasar pada tahun 1953. Surat RP di atas dibalas oleh zending di Belanda dengan surat bernomor 119 tanggal 15 Januari 1953 yang menyatakan bahwa Sekolah tersebut baru akan dapat dimulai bulan Juli 1953. Para peserta yang mengikuti Sekolah Guru Injil periode 1953-1954 di “Pesraman” Penyobekan ini dengan tujuan untuk meningkatkan status menjadi Pendeta. Tercatat sebelas murid : Gede Sadra, I Gusti Bagus Diksa, Gusti Putu Reka, Ketut Daniel, Made Repag, Wayan Raneng, Made Riwih, Ketut Subamia, Wayan Mendeg, Gusti Putu Puger dan Gusti Putu Tantri. Pengajarnya hanya tiga orang: Ds. Henk J. Visch, Pdt. Made Ayub dan Pdt. Fanggi dari GPIB (sebelum tahun 1948 bernama “Indische Kerk”).
Dalam pelayanan RP tahun 1954, telah dilakukan upacara penahbisan ke dalam jabatan Pendeta dan Guru Injil yang dilaksanakan di Untal-Untal pada hari Rabu tanggal 18 Agustus 1954 kepada :
1
Wayan Rasih Tamayasa
kedalam jabatan
Pendeta
Persekutuan diantara orang-orang Kristen yang berada di Denpasar, rupanya telah terjadi sebelum terbentuknya Jemaat Denpasar. Pada bulan Agustus 1952, RP bersurat kepada Ds. Henk J. Visch di Winasen, Holland untuk datang kembali ke Indonesia (Bali) karena RP akan membuka kembali Sekolah Guru Injil di “Pesraman” Penyobekan Denpasar pada tahun 1953. Surat RP di atas dibalas oleh zending di Belanda dengan surat bernomor 119 tanggal 15 Januari 1953 yang menyatakan bahwa Sekolah tersebut baru akan dapat dimulai bulan Juli 1953. Para peserta yang mengikuti Sekolah Guru Injil periode 1953-1954 di “Pesraman” Penyobekan ini dengan tujuan untuk meningkatkan status menjadi Pendeta. Tercatat sebelas murid : Gede Sadra, I Gusti Bagus Diksa, Gusti Putu Reka, Ketut Daniel, Made Repag, Wayan Raneng, Made Riwih, Ketut Subamia, Wayan Mendeg, Gusti Putu Puger dan Gusti Putu Tantri. Pengajarnya hanya tiga orang: Ds. Henk J. Visch, Pdt. Made Ayub dan Pdt. Fanggi dari GPIB (sebelum tahun 1948 bernama “Indische Kerk”).
Dalam pelayanan RP tahun 1954, telah dilakukan upacara penahbisan ke dalam jabatan Pendeta dan Guru Injil yang dilaksanakan di Untal-Untal pada hari Rabu tanggal 18 Agustus 1954 kepada :
1
Wayan Rasih Tamayasa
kedalam jabatan
Pendeta
(Lulus Sekolah Theologia “Balewiyata” tahun 1954 – angkatan ke 9)
2
Gede Sadra
kedalam jabatan
Pendeta
Gede Sadra
kedalam jabatan
Pendeta
3
I Gusti Bagus Diksa
kedalam jabatan
Pendeta
I Gusti Bagus Diksa
kedalam jabatan
Pendeta
4
Gusti Putu Reka
kedalam jabatan
Pendeta
Gusti Putu Reka
kedalam jabatan
Pendeta
5
Ketut Daniel
kedalam jabatan
Pendeta
Ketut Daniel
kedalam jabatan
Pendeta
6
Made Repag
kedalam jabatan
Pendeta
Made Repag
kedalam jabatan
Pendeta
7
Wayan Raneng
kedalam jabatan
Guru Injil
Wayan Raneng
kedalam jabatan
Guru Injil
8
Made Riwih
kedalam jabatan
Guru Injil
Made Riwih
kedalam jabatan
Guru Injil
9
Ketut Subamia
kedalam jabatan
Guru Injil
Ketut Subamia
kedalam jabatan
Guru Injil
10
Wayan Mendeg
kedalam jabatan
Guru Injil
Wayan Mendeg
kedalam jabatan
Guru Injil
11
Gusti Putu Puger
kedalam jabatan
Guru Injil
Gusti Putu Puger
kedalam jabatan
Guru Injil
12
Gusti Putu Tantri
kedalam jabatan
Guru Injil
Gusti Putu Tantri
kedalam jabatan
Guru Injil
(Daftar nama-nama di atas dan tanggal penahbisan diperoleh dari surat Raad Pasikian GKPB, alamat Untal-Untal, tanpa nomor dan tanggal, ditandatangani oleh Penulis Ketut Daniel yang ditujukan kepada Raad Pasamuan Bongan – Mengenai Jabatan Gerejawi yang diterima oleh tiap-tiap orang tsb di atas diperoleh dari informasi Pdt. Gusti Putu Puger, Bongan, 22 Maret 1996) – Penulis mendapat kejelasan ini secara tertulis oleh Pdt. Tjatra Puspitha, D.Th dalam tulisan berjudul:“Perjalanan GKPB sampai dengan Sinode ke 41”,2011.
Setelah H.J. Visch dan keluarga datang kembali ke Indonesia (Bali) dan melayani di GKPB mulai bulan Juni 1953. Mereka tinggal di rumah zending (“zending huis”) di Penyobekan (sekarang jalan Debes no. 6) . Ketika sarana Sekolah Guru Injil “pesraman” di Penyobekan ini pertama kali didirikan (1937/1938) maka diarea lokasi ini juga dibangun tempat asrama dan rumah zending dimana Ds. Th. B.W.G. Gramberg bersama istri tinggal di “zending huis” ini. Mas Miarso Dermoredjo mantri juru rawat yang ditugaskan oleh Rumah Sakit Zending (zending ziekenhuis) Malang, datang di Bali (sekitar April/Mei 1938) pernah tinggal selama tiga bulan di asrama Penyobekan ini, sebelum ia mendapatkan rumah dan tempat kerjanya. Setelah berakhirnya Kursus pendidikan Guru Injil periode 1953-1954 di Pesraman ini, maka pada awal tahun 1955 ruang untuk belajar ini digunakan sebagai ruang belajar untuk anak-anak Sekolah Menengah Pertama Kristen (SMPK). Oleh Anak Agung Njoman Pandji Tisna (alm), beliau menyumbangkan sebuah nama “Widhya Pura” untuk SMPK ini, yang artinya tempat untuk mengejar pengetahuan. SMPK ini hanya setahun menempati ruang untuk belajar ini karena pada tahun berikutnya 1956, SMPK “Widhya Pura” telah memiliki tempat dan bangunan permanen di Sesetan. Ruangan yang ditinggalkan ini kemudian dirubah menjadi tempat untuk ibadah (kebaktian) dengan jumlah jemaat beberapa orang saja.
Pada waktu itu kebaktian-kebaktian dilayani secara bergantian baik oleh Ds. H.J. Visch, Pdt. Wayan Tamayasa (Ketua Sinode GKPB 1955-1961), Pdt. Ketut Daniel (Sekretaris Sinode GKPB 1952-1966), maupun oleh Pdt. Ketoet Soewetja (Pendeta Wilayah Badung ketika itu).
Di tahun 1956. Sewaktu Pdt. Ketoet Soewetja menjabat sebagai pendeta wilayah Badung, beliau minta kepada Pdt. Ketut Daniel agar membentuk Jemaat Denpasar 5. Pada waktu itu Pdt. Ketut Daniel melayani Pesamoean Untal-untal (sejak 1 Juli 1947) atas permintaan Mas Sastrodimedjo, yakni sekembalinya Pdt. K. Daniel dari Makassar.
Pembentukan GKPB Jemaat Denpasar, diupayakan oleh Pdt. K. Daniel ketika tinggal di Untal-Untal. Selain melayani Jemaat Untal-Untal, juga sebagai Sekretaris Sinode GKPB yang ditekuninya sejak tahun 1952 dari hasil keputusan Sidang keenam di Padang Tawang, beliau juga membantu mengurus Kolportase. Dalam proses pembentukan Jemaat Denpasar ini diakuinya sungguh berat. Beliau melayani dengan mengadakan kunjungan bersama anak dan istri dengan mengendarai dokar. Proses awalnya mengadakan kunjungan ke keluarga-keluarga untuk dimintai pendapatnya atas rencana pembentukan Jemaat Denpasar ini. Keluarga yang dikunjungi adalah Keluarga I Wayan Tegeg; I Wayan Gerendeng; I Nengah Swatra; I Nyoman Pinia; dan Keluarga Susetya Reksosiswoyo. Mereka semua menyarankan agar mengadakan pendekatan dahulu kepada Gusti Kompyang Tabing (I Gusti Kompyang Sumada), yang lainnya tentu akan mudah saja. Ternyata recana Pdt. K Daniel ini sangat direspon oleh I Gusti Kompyang Tabing, bahkan meminta agar diadakan rapat dan pembentukan pengurus. Gusti Kompyang menawarkan rumahnya di jalan Bali-Sanglah untuk menjadi tempat pertemuan pertama dan sekaligus membentuk Pengurus, yang akhirnya pada waktu itu terpilih sebagai anggota pengurus adalah : I Gusti Kompyang Tabing, I Wayan Gerendeng dan I Nyoman Pinia. I Gusti Kompyang Tabing adalah anak tunggal dari keluarga I Goesti Made Tabeng dan Ni Ketoet Soekerti yang tinggal di Desa Buduk. Sebagai Pekaseh (Kelian Subak) keluarga ini cukup terpandang dan kaya. Ketika masih kecil Gusti Kompyang telah ditinggal oleh ayahnya. Ketika Goesti Made Tabeng, ayahnya meninggal warisan yang ditinggalkannya cukup banyak dan Gusti Kompyang adalah pewaris tunggal karena dia adalah anak satu-satunya. Sepeninggal ayahnya itu, Gusti Kompyang masih berumur sekitar 8 tahun, hidup teraniaya. Kadang tidak diberi makan dan disuruh angon sapi, oleh keluarga besar ayahnya. Ketika haus Gusti Kompyang juga sering meminum air sawah. Karena dia merupa-kan satu-satunya ahli waris keluarga kaya, itulah sebabnya ia selalu dianiaya untuk dibunuh. Hal ini diketahui oleh I Made Gepek (pan Loting). Ketika, Gusti Kompyang lagi berada di sawah angon sapi datanglah Made Gepek menawarkan untuk sekolah kepadanya : “Apakah Gusti Kompyang mau bersekolah menemani Batjol di Mojowarno?” Karena masih kecil, Gusti Kompyang langsung mengiyakan. Saat itu juga ia langsung dibawa oleh pan Loting. Pan Loting memang punya program untuk menyekolahkan Batjol dan satu temannya lagi ke Mojowarno. Akhirnya Gusti Kompyang Tabing dan Batjol diantar ke Mojowarno untuk bersekolah disana. Ternyata Gusti Kompyang berhasil justru Batjol pulang kembali ke Bali karena tidak tahan dan gagal. Demikianlah Gusti Kompyang Tabing tinggal diperantauan (Mojowarno) hingga dewasa dan mendapatkan jodohnya di Mojowarno, R Pangestu Nikodemus seorang gadis Jawa yang cukup terpandang dan dihormati. Di Gereja Jemaat Mojowarno inilah mereka diteguhkan dan diberkati pernikahannya. Dizaman revolusi Gusti Kompyang juga ikut berperang sampai di Sumatra dan Kalimantan (sehingga Gusti Kompyang juga memiliki surat keputusan sebagai Veteran RI). Anak pertamanya Gusti Putu Suwetja Sumada lahir di Mojowarno, sedang anak keduanya Gusti Made Yudhaninghari lahir di Kalimantan ketika terjadi peperangan. Waktu itu Gusti Kompyang bersama istri yang lagi hamil tua, lari membawa Gusti Putu Suwetja yang baru berumur tiga tahun ke tempat perlindungan karena di kejar-kejar tentara NICA. Ditempat perlindungan inilah anak keduanya lahir. Namun situasi perang waktu itu dan kekurangan persediaan air sehingga anak kedua ini terserang tetanus dan meninggal, dimakamkan disana. Gusti Kompyang dan keluarga akhirnya pulang kembali ke Bali tetapi tidak langsung ke Buduk dan sempat tinggal di Blayu sebelum kembali ke Buduk. Terakhir keluarga ini tinggal menetap di Denpasar. Tahun 1954 keluarga ini tinggal di jalan Bali Sanglah sebelumnya tinggal di daerah Balun. Rupanya latar belakang dari kehidupan yang dialami dan dilakoni oleh Gusti Kompyang Tabing seperti ini telah membuatnya memiliki karakter pribadi yang cukup keras.
Di akhir tahun 1958 Pdt. K Daniel dengan keluarga pindah ke Denpasar di banjar Penyobekan, setelah lahirnya putri kelima. Karena sebagai Sekretaris Sinode GKPB beliau harus bekerja penuh waktu (full time). Waktu itu Pdt. Wayan Tamayasa sebagai Ketua Sinode (1955-1961) Gereja Kristen Protestan Bali. Dalam Sidang (Sinode) ketigabelas tahun 1959 telah diputuskan bahwa Kantor Sinode yang tadinya menumpang di rumah Pdt. K Daniel (Sekretaris) di Untal-Untal, ditetapkan di kompleks Penyobekan dan dilengkapi dengan staf pegawai dan perlengkapan lainnya. Untuk Ketua dan Sekretaris Sinode disediakan perumahan dikompleks Penyobekan ini juga.
Pada tahun 1959 dikompleks Penyobekan, di tempat yang dahulunya sebagai ruang belajar Guru Injil ini disiapkan menjadi sebuah Gereja untuk Jemaat Denpasar dengan fisik bangunan yang sangat sederhana. Sehingga di kompleks Penyobekan ini terdapat selain gereja Penyobekan (Jemaat Denpasar) juga Kantor Sinode GKPB. Pada tahun 1960 bulan Februari Pdt. K Daniel beserta keluarga pulang kembali ke Untal-Untal karena telah dilakukan perubahan pengurus. Pdt. K Daniel ditugaskan melayani di Untal-Untal, Denpasar, dan Legian. Pada tahun 1961 dalam Sinode kelimabelas di SMPK Sesetan Pdt. K Daniel terpilih lagi menjadi Sekretaris Sinode sehingga tempat tinggalnya pindah lagi ke Denpasar.
Logo GKPB
Logo GKPB yang berisikan gambar salib menari, Salib menari ini berasal dari (bahasa Inggris: the dancing cross) adalah sebuah konsep teologi salib yang berangkat dari konteks kekristenan di Bali. Salib menari adalah pemaknaan salib melalui pendekatan budaya dan karakter manusia Bali. Logo GKPB yang berisikan gambar salib menari ini, mulai digunakan pada tahun1977. Logo GKPB dalam bentuk gambar dibuat oleh salah satu seniman Bali, I Nyoman Darsana.
Struktur Sistem dalam GKPB periode 2012-2016, adalah:
Ketua Umum : Dr. I Ketut Siaga Waspada
Sekretaris Umum : Pdt. I Nengah Suama, M.Th
Bendahara : I Gusti Ketut Mustika, S.sos, MM
Dan sampai sekarang anggota dari jemaat kristen protestan mencapai 13.520 jiwa
Setelah H.J. Visch dan keluarga datang kembali ke Indonesia (Bali) dan melayani di GKPB mulai bulan Juni 1953. Mereka tinggal di rumah zending (“zending huis”) di Penyobekan (sekarang jalan Debes no. 6) . Ketika sarana Sekolah Guru Injil “pesraman” di Penyobekan ini pertama kali didirikan (1937/1938) maka diarea lokasi ini juga dibangun tempat asrama dan rumah zending dimana Ds. Th. B.W.G. Gramberg bersama istri tinggal di “zending huis” ini. Mas Miarso Dermoredjo mantri juru rawat yang ditugaskan oleh Rumah Sakit Zending (zending ziekenhuis) Malang, datang di Bali (sekitar April/Mei 1938) pernah tinggal selama tiga bulan di asrama Penyobekan ini, sebelum ia mendapatkan rumah dan tempat kerjanya. Setelah berakhirnya Kursus pendidikan Guru Injil periode 1953-1954 di Pesraman ini, maka pada awal tahun 1955 ruang untuk belajar ini digunakan sebagai ruang belajar untuk anak-anak Sekolah Menengah Pertama Kristen (SMPK). Oleh Anak Agung Njoman Pandji Tisna (alm), beliau menyumbangkan sebuah nama “Widhya Pura” untuk SMPK ini, yang artinya tempat untuk mengejar pengetahuan. SMPK ini hanya setahun menempati ruang untuk belajar ini karena pada tahun berikutnya 1956, SMPK “Widhya Pura” telah memiliki tempat dan bangunan permanen di Sesetan. Ruangan yang ditinggalkan ini kemudian dirubah menjadi tempat untuk ibadah (kebaktian) dengan jumlah jemaat beberapa orang saja.
Pada waktu itu kebaktian-kebaktian dilayani secara bergantian baik oleh Ds. H.J. Visch, Pdt. Wayan Tamayasa (Ketua Sinode GKPB 1955-1961), Pdt. Ketut Daniel (Sekretaris Sinode GKPB 1952-1966), maupun oleh Pdt. Ketoet Soewetja (Pendeta Wilayah Badung ketika itu).
Di tahun 1956. Sewaktu Pdt. Ketoet Soewetja menjabat sebagai pendeta wilayah Badung, beliau minta kepada Pdt. Ketut Daniel agar membentuk Jemaat Denpasar 5. Pada waktu itu Pdt. Ketut Daniel melayani Pesamoean Untal-untal (sejak 1 Juli 1947) atas permintaan Mas Sastrodimedjo, yakni sekembalinya Pdt. K. Daniel dari Makassar.
Pembentukan GKPB Jemaat Denpasar, diupayakan oleh Pdt. K. Daniel ketika tinggal di Untal-Untal. Selain melayani Jemaat Untal-Untal, juga sebagai Sekretaris Sinode GKPB yang ditekuninya sejak tahun 1952 dari hasil keputusan Sidang keenam di Padang Tawang, beliau juga membantu mengurus Kolportase. Dalam proses pembentukan Jemaat Denpasar ini diakuinya sungguh berat. Beliau melayani dengan mengadakan kunjungan bersama anak dan istri dengan mengendarai dokar. Proses awalnya mengadakan kunjungan ke keluarga-keluarga untuk dimintai pendapatnya atas rencana pembentukan Jemaat Denpasar ini. Keluarga yang dikunjungi adalah Keluarga I Wayan Tegeg; I Wayan Gerendeng; I Nengah Swatra; I Nyoman Pinia; dan Keluarga Susetya Reksosiswoyo. Mereka semua menyarankan agar mengadakan pendekatan dahulu kepada Gusti Kompyang Tabing (I Gusti Kompyang Sumada), yang lainnya tentu akan mudah saja. Ternyata recana Pdt. K Daniel ini sangat direspon oleh I Gusti Kompyang Tabing, bahkan meminta agar diadakan rapat dan pembentukan pengurus. Gusti Kompyang menawarkan rumahnya di jalan Bali-Sanglah untuk menjadi tempat pertemuan pertama dan sekaligus membentuk Pengurus, yang akhirnya pada waktu itu terpilih sebagai anggota pengurus adalah : I Gusti Kompyang Tabing, I Wayan Gerendeng dan I Nyoman Pinia. I Gusti Kompyang Tabing adalah anak tunggal dari keluarga I Goesti Made Tabeng dan Ni Ketoet Soekerti yang tinggal di Desa Buduk. Sebagai Pekaseh (Kelian Subak) keluarga ini cukup terpandang dan kaya. Ketika masih kecil Gusti Kompyang telah ditinggal oleh ayahnya. Ketika Goesti Made Tabeng, ayahnya meninggal warisan yang ditinggalkannya cukup banyak dan Gusti Kompyang adalah pewaris tunggal karena dia adalah anak satu-satunya. Sepeninggal ayahnya itu, Gusti Kompyang masih berumur sekitar 8 tahun, hidup teraniaya. Kadang tidak diberi makan dan disuruh angon sapi, oleh keluarga besar ayahnya. Ketika haus Gusti Kompyang juga sering meminum air sawah. Karena dia merupa-kan satu-satunya ahli waris keluarga kaya, itulah sebabnya ia selalu dianiaya untuk dibunuh. Hal ini diketahui oleh I Made Gepek (pan Loting). Ketika, Gusti Kompyang lagi berada di sawah angon sapi datanglah Made Gepek menawarkan untuk sekolah kepadanya : “Apakah Gusti Kompyang mau bersekolah menemani Batjol di Mojowarno?” Karena masih kecil, Gusti Kompyang langsung mengiyakan. Saat itu juga ia langsung dibawa oleh pan Loting. Pan Loting memang punya program untuk menyekolahkan Batjol dan satu temannya lagi ke Mojowarno. Akhirnya Gusti Kompyang Tabing dan Batjol diantar ke Mojowarno untuk bersekolah disana. Ternyata Gusti Kompyang berhasil justru Batjol pulang kembali ke Bali karena tidak tahan dan gagal. Demikianlah Gusti Kompyang Tabing tinggal diperantauan (Mojowarno) hingga dewasa dan mendapatkan jodohnya di Mojowarno, R Pangestu Nikodemus seorang gadis Jawa yang cukup terpandang dan dihormati. Di Gereja Jemaat Mojowarno inilah mereka diteguhkan dan diberkati pernikahannya. Dizaman revolusi Gusti Kompyang juga ikut berperang sampai di Sumatra dan Kalimantan (sehingga Gusti Kompyang juga memiliki surat keputusan sebagai Veteran RI). Anak pertamanya Gusti Putu Suwetja Sumada lahir di Mojowarno, sedang anak keduanya Gusti Made Yudhaninghari lahir di Kalimantan ketika terjadi peperangan. Waktu itu Gusti Kompyang bersama istri yang lagi hamil tua, lari membawa Gusti Putu Suwetja yang baru berumur tiga tahun ke tempat perlindungan karena di kejar-kejar tentara NICA. Ditempat perlindungan inilah anak keduanya lahir. Namun situasi perang waktu itu dan kekurangan persediaan air sehingga anak kedua ini terserang tetanus dan meninggal, dimakamkan disana. Gusti Kompyang dan keluarga akhirnya pulang kembali ke Bali tetapi tidak langsung ke Buduk dan sempat tinggal di Blayu sebelum kembali ke Buduk. Terakhir keluarga ini tinggal menetap di Denpasar. Tahun 1954 keluarga ini tinggal di jalan Bali Sanglah sebelumnya tinggal di daerah Balun. Rupanya latar belakang dari kehidupan yang dialami dan dilakoni oleh Gusti Kompyang Tabing seperti ini telah membuatnya memiliki karakter pribadi yang cukup keras.
Di akhir tahun 1958 Pdt. K Daniel dengan keluarga pindah ke Denpasar di banjar Penyobekan, setelah lahirnya putri kelima. Karena sebagai Sekretaris Sinode GKPB beliau harus bekerja penuh waktu (full time). Waktu itu Pdt. Wayan Tamayasa sebagai Ketua Sinode (1955-1961) Gereja Kristen Protestan Bali. Dalam Sidang (Sinode) ketigabelas tahun 1959 telah diputuskan bahwa Kantor Sinode yang tadinya menumpang di rumah Pdt. K Daniel (Sekretaris) di Untal-Untal, ditetapkan di kompleks Penyobekan dan dilengkapi dengan staf pegawai dan perlengkapan lainnya. Untuk Ketua dan Sekretaris Sinode disediakan perumahan dikompleks Penyobekan ini juga.
Pada tahun 1959 dikompleks Penyobekan, di tempat yang dahulunya sebagai ruang belajar Guru Injil ini disiapkan menjadi sebuah Gereja untuk Jemaat Denpasar dengan fisik bangunan yang sangat sederhana. Sehingga di kompleks Penyobekan ini terdapat selain gereja Penyobekan (Jemaat Denpasar) juga Kantor Sinode GKPB. Pada tahun 1960 bulan Februari Pdt. K Daniel beserta keluarga pulang kembali ke Untal-Untal karena telah dilakukan perubahan pengurus. Pdt. K Daniel ditugaskan melayani di Untal-Untal, Denpasar, dan Legian. Pada tahun 1961 dalam Sinode kelimabelas di SMPK Sesetan Pdt. K Daniel terpilih lagi menjadi Sekretaris Sinode sehingga tempat tinggalnya pindah lagi ke Denpasar.
Logo GKPB
Logo GKPB yang berisikan gambar salib menari, Salib menari ini berasal dari (bahasa Inggris: the dancing cross) adalah sebuah konsep teologi salib yang berangkat dari konteks kekristenan di Bali. Salib menari adalah pemaknaan salib melalui pendekatan budaya dan karakter manusia Bali. Logo GKPB yang berisikan gambar salib menari ini, mulai digunakan pada tahun1977. Logo GKPB dalam bentuk gambar dibuat oleh salah satu seniman Bali, I Nyoman Darsana.
Struktur Sistem dalam GKPB periode 2012-2016, adalah:
Ketua Umum : Dr. I Ketut Siaga Waspada
Sekretaris Umum : Pdt. I Nengah Suama, M.Th
Bendahara : I Gusti Ketut Mustika, S.sos, MM
Dan sampai sekarang anggota dari jemaat kristen protestan mencapai 13.520 jiwa
daftar Alamat dan No Telp Gereja Kristen di Denpasar & Kuta Bali
Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB)
GKPB Jemaat Bukit Doa Nusa Dua
Alamat Jln Kurusetra, Kompleks Puja Mandala, Dusun Bualu - Benoa -No Telp (0)36 177 6807
GKPB Jemaat Bukit Doa Nusa Dua
Alamat Jln Kurusetra, Kompleks Puja Mandala, Dusun Bualu - Benoa -No Telp (0)36 177 6807
GKY (Gereja KRISTUS YESUS) Denpasar Alamat Jl. Sunset Road, Dewi Sri III, Kuta-Bali. Telp.(0361) 488126, 7464418
GKI Denpasar
Alamat Jl. Raya Puputan 108 Lt.2, Niti Mandala, Renon - Denpasar Denpasar - Bali 80235 No Telp : (0361) 264508
Alamat Jl. Raya Puputan 108 Lt.2, Niti Mandala, Renon - Denpasar Denpasar - Bali 80235 No Telp : (0361) 264508
Gereja Mawar Sharon Alamat Jl. Teuku Umar 190 - 192 Denpasar No Telp ( 0361 ) 238547
GPIB MARANATHA Denpasar
Alamat Jl. Suropati No. 11, Denpasar-Bali 80232 No Telp 0361 – 222 591- Fax: 0361 – 247 514
Alamat Jl. Suropati No. 11, Denpasar-Bali 80232 No Telp 0361 – 222 591- Fax: 0361 – 247 514
GPIB Ekklesia
Alamat Jl. Raya Tuban - Kuta - Bali No Tel : (62 361) 753674
Alamat Jl. Raya Tuban - Kuta - Bali No Tel : (62 361) 753674
Gereja GPdI Calvary chapel
Jl Buana raya gang Satria buana 1. Padang Sambian
Jl Buana raya gang Satria buana 1. Padang Sambian
Gereja Kristen Protestan di Bali Jemaat Kasih Kristus
Jalan Debes 6 , Denpasar,
Jalan Debes 6 , Denpasar,
Faktor Utama Penyebab Konversi Agama di Bali
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sekurangnya terdapat delapan factor utama penyebab orang Bali melakukan konversi, yakni :
Pertama: Ketidakpuasan atas system adat dan agama.
Sejak dulu sebagian kecil masyarakat Bali menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem adat dan agama. Selain itu, kelompok - kelompok yang ada di masyarakat memperlihatkan kepekaan yang berbeda terhadap doktrin keagamaan tertentu. Kerumitan banten yang dikaitkan dengan ekspresi keimanan, aturan adat yang kaku serta tidak adanya kelonggaran bagi anggota masyarakat untuk menjalankan ajaran agama menjadi keluhan yang belum terjawab. Hal ini menimbulkan goncangan sosial yang pada akhirnya menimbulkan anomi. Para penderita deprivasi ekstrim dan anomi memperlihatkan daya tanggap yang besar terhadap agama yang mengkhotbahkan pesan keselamatan.
Kedua: Krisis individu.
Manusia kerap mengalami krisis yang disebabkan oleh banyak hal seperti kondisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup, keretakan keluarga, perceraian, korban kekerasan atau perasaan berdosa karena merasa telah melakukan perbuatan tercela. Orang yang mengalami krisis cenderung mencari nilai baru, guna mendapatkan pemecahan dari persoalan yang dihadapi. Agama Kristen termasuk agama yang menawarkan pesan keselamatan yang membawa seseorang pada rasa damai sejahtera. Perpindahan agama diharapkan mampu membawa perubahan dalam hidupnya.
Ketiga: Ekonomi dan lingkungan sosial.
Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab seseorang pindah agama. Meletusnya Gunung Agung tahun 1963 diiringi dengan gelombang wabah dan kegagalan panen menimbulkan paceklik hampir di seluruh Bali. Hal itu dimanfaatkan oleh badan misi Kristen untuk memberikan bantuan seperti gandum dan alat-alat dapur maupun memberikan keahlian dengan tujuan imbalan masuk Kristen. Selain itu, banyak orang Bali karena belitan kemiskinan bersedia masuk Kristen dengan harapan mendapatkan bantuan dan terjadi peningkatan ekonomi. Kristen memiliki lembaga ekonomi yang mapan yakni Maha Bhoga Marga (MBM) yang memberikan kredit ringan bahkan bantuan Cuma Cuma untuk peningkatan ekonomi masyarakat kecil. MBM berdiri sejak 15 Januari 1963 yang pendanaannya berasal dari diakonia (dana yang terhimpun dari umat Kristen). Selain itu masih banyak lembaga sosial yang memiliki misi serupa, selain badan penyiaran seperti radio Kristen.
Keempat: Pengaruh ilmu kebatinan, Kehausan rohani dan janji keselamatan.
Ilmu kebatinan yang diajarkan Raden Atmaja Kusuma di Singaraja menjadi loncatan awal bagi kekristenan di Bali. Ajaran mistik ini sepintas mirip dengan ajaran Kristen di mana pencapaian spiritual dapat dicapai dengan pencerahan rohani, bukan dengan upacara yang besar. Umat Hindu yang mengalami kehausan rohani dulunya memang sulit mendapatkan jawaban, karena sedikitnya tokoh yang bisa memberikan pelayanan rohani.
Kelima: Keretakan keluarga dan urbanisasi.
Keluarga yang tidak harmonis mendorong terjadinya konversi. Anggota keluarga yang merasa terlempar dari ikatan keluarga dan merasa sebatang kara tanpa ada yang memperhatian cenderung akan mencari komunitas baru yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi dalam kehidupannya.
Keenam: Perkawinan dan urutan kelahiran dalam keluarga.
Perkawinan seringkali menimbulkan terjadinya konversi agama. Wanita Bali yang kawin dengan pria Kristen sebagian besar akan mengikuti agama suami karena sistem patrialistik dari masyarakat Bali. Namun tidak sedikit justru pria Hindu yang mengikuti agama calon istrinya. Selain itu, urutan kelahiran dalam keluarga sangat berpengaruh. Di mana anak laki-laki yang bukan merupakan pewaris keluarga lebih mudah untuk beralih agama karena tidak terikat tanggung jawab dalam keluarganya. Juga mereka bukan penanggung jawab utama baik dalam melakukan pengabenan bagi orang tuanya maupun mengurus sanggah dan warisan keluarga.
Ketujuh: Kegiatan penginjilan yang agresif.
Kristen memang merupakan agama missioner. Tugas penginjilan bukan hanya dilakukan oleh penginjil profesional, tetapi juga oleh seluruh gereja dan jemaat. Banyak warga yang masuk Kristen karena kegiatan penginjilan yang mempropagandakan kehidupan yang lebih baik.
Kedelapan: Lemahnya pemahaman teologi (Brahmavidya).
Masyarakat Hindu di Bali yang menjalani agama cenderung dengan berbagai upacara menyebabkan teologi tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pelajaran agamanya. Ketidaktahuan ini tentu saja merugikan dialog antar pemeluk agama maupun dengan penginjil yang memang mapan dalam berdebat. Delapan factor utama diatas sesungguhnya berpangkal pada lemahnya pemahaman atas ajaran Hindu, sehingga para converts dengan mudah meninggalkan Hindu.
Dialog yang intensif.
Delapan faktor utama itu ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan konversi terjadi karena akumulasi banyak faktor. Dari penelitian yang dilakukan, salah satu konversi bisa terjadi karena perkawinan, ditambah dengan terjadinya krisis individu yang tidak mendapatkan jawaban dalam pandangan hidup lama, ditambah dengan lemahnya pemahaman teologi dan kuatnya daya tarik komunitas Kristen yang tidak mengenal sanksi baik moral maupun material seperti dalam sistem adat Bali. Namun sebagian besar converts mengakui tidak pernah belajar Hindu secara baik dan tidak memahami teologi Hindu.
Hampir tidak ada konversi yang terjadi tanpa didahului dialog dengan mempertanyakan agama lama dan keunggulan agama Kristen. Dalam dialog dengan pemahaman yang minim, penganut Hindu memang sering kewalahan dengan umat Kristen yang dengan jelas mampu memaparkan keimanan, ibadah maupun teologi kekristenan. Olehnya sudah selayaknya para pemuka Hindu, majelis Hindu maupun tokoh-tokoh Hindu memikirkan penanaman teologi dan pentingnya dialog dalam pergaulan di era global yang tidak dapat dihindari ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sekurangnya terdapat delapan factor utama penyebab orang Bali melakukan konversi, yakni :
Pertama: Ketidakpuasan atas system adat dan agama.
Sejak dulu sebagian kecil masyarakat Bali menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem adat dan agama. Selain itu, kelompok - kelompok yang ada di masyarakat memperlihatkan kepekaan yang berbeda terhadap doktrin keagamaan tertentu. Kerumitan banten yang dikaitkan dengan ekspresi keimanan, aturan adat yang kaku serta tidak adanya kelonggaran bagi anggota masyarakat untuk menjalankan ajaran agama menjadi keluhan yang belum terjawab. Hal ini menimbulkan goncangan sosial yang pada akhirnya menimbulkan anomi. Para penderita deprivasi ekstrim dan anomi memperlihatkan daya tanggap yang besar terhadap agama yang mengkhotbahkan pesan keselamatan.
Kedua: Krisis individu.
Manusia kerap mengalami krisis yang disebabkan oleh banyak hal seperti kondisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup, keretakan keluarga, perceraian, korban kekerasan atau perasaan berdosa karena merasa telah melakukan perbuatan tercela. Orang yang mengalami krisis cenderung mencari nilai baru, guna mendapatkan pemecahan dari persoalan yang dihadapi. Agama Kristen termasuk agama yang menawarkan pesan keselamatan yang membawa seseorang pada rasa damai sejahtera. Perpindahan agama diharapkan mampu membawa perubahan dalam hidupnya.
Ketiga: Ekonomi dan lingkungan sosial.
Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab seseorang pindah agama. Meletusnya Gunung Agung tahun 1963 diiringi dengan gelombang wabah dan kegagalan panen menimbulkan paceklik hampir di seluruh Bali. Hal itu dimanfaatkan oleh badan misi Kristen untuk memberikan bantuan seperti gandum dan alat-alat dapur maupun memberikan keahlian dengan tujuan imbalan masuk Kristen. Selain itu, banyak orang Bali karena belitan kemiskinan bersedia masuk Kristen dengan harapan mendapatkan bantuan dan terjadi peningkatan ekonomi. Kristen memiliki lembaga ekonomi yang mapan yakni Maha Bhoga Marga (MBM) yang memberikan kredit ringan bahkan bantuan Cuma Cuma untuk peningkatan ekonomi masyarakat kecil. MBM berdiri sejak 15 Januari 1963 yang pendanaannya berasal dari diakonia (dana yang terhimpun dari umat Kristen). Selain itu masih banyak lembaga sosial yang memiliki misi serupa, selain badan penyiaran seperti radio Kristen.
Keempat: Pengaruh ilmu kebatinan, Kehausan rohani dan janji keselamatan.
Ilmu kebatinan yang diajarkan Raden Atmaja Kusuma di Singaraja menjadi loncatan awal bagi kekristenan di Bali. Ajaran mistik ini sepintas mirip dengan ajaran Kristen di mana pencapaian spiritual dapat dicapai dengan pencerahan rohani, bukan dengan upacara yang besar. Umat Hindu yang mengalami kehausan rohani dulunya memang sulit mendapatkan jawaban, karena sedikitnya tokoh yang bisa memberikan pelayanan rohani.
Kelima: Keretakan keluarga dan urbanisasi.
Keluarga yang tidak harmonis mendorong terjadinya konversi. Anggota keluarga yang merasa terlempar dari ikatan keluarga dan merasa sebatang kara tanpa ada yang memperhatian cenderung akan mencari komunitas baru yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi dalam kehidupannya.
Keenam: Perkawinan dan urutan kelahiran dalam keluarga.
Perkawinan seringkali menimbulkan terjadinya konversi agama. Wanita Bali yang kawin dengan pria Kristen sebagian besar akan mengikuti agama suami karena sistem patrialistik dari masyarakat Bali. Namun tidak sedikit justru pria Hindu yang mengikuti agama calon istrinya. Selain itu, urutan kelahiran dalam keluarga sangat berpengaruh. Di mana anak laki-laki yang bukan merupakan pewaris keluarga lebih mudah untuk beralih agama karena tidak terikat tanggung jawab dalam keluarganya. Juga mereka bukan penanggung jawab utama baik dalam melakukan pengabenan bagi orang tuanya maupun mengurus sanggah dan warisan keluarga.
Ketujuh: Kegiatan penginjilan yang agresif.
Kristen memang merupakan agama missioner. Tugas penginjilan bukan hanya dilakukan oleh penginjil profesional, tetapi juga oleh seluruh gereja dan jemaat. Banyak warga yang masuk Kristen karena kegiatan penginjilan yang mempropagandakan kehidupan yang lebih baik.
Kedelapan: Lemahnya pemahaman teologi (Brahmavidya).
Masyarakat Hindu di Bali yang menjalani agama cenderung dengan berbagai upacara menyebabkan teologi tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pelajaran agamanya. Ketidaktahuan ini tentu saja merugikan dialog antar pemeluk agama maupun dengan penginjil yang memang mapan dalam berdebat. Delapan factor utama diatas sesungguhnya berpangkal pada lemahnya pemahaman atas ajaran Hindu, sehingga para converts dengan mudah meninggalkan Hindu.
Dialog yang intensif.
Delapan faktor utama itu ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan konversi terjadi karena akumulasi banyak faktor. Dari penelitian yang dilakukan, salah satu konversi bisa terjadi karena perkawinan, ditambah dengan terjadinya krisis individu yang tidak mendapatkan jawaban dalam pandangan hidup lama, ditambah dengan lemahnya pemahaman teologi dan kuatnya daya tarik komunitas Kristen yang tidak mengenal sanksi baik moral maupun material seperti dalam sistem adat Bali. Namun sebagian besar converts mengakui tidak pernah belajar Hindu secara baik dan tidak memahami teologi Hindu.
Hampir tidak ada konversi yang terjadi tanpa didahului dialog dengan mempertanyakan agama lama dan keunggulan agama Kristen. Dalam dialog dengan pemahaman yang minim, penganut Hindu memang sering kewalahan dengan umat Kristen yang dengan jelas mampu memaparkan keimanan, ibadah maupun teologi kekristenan. Olehnya sudah selayaknya para pemuka Hindu, majelis Hindu maupun tokoh-tokoh Hindu memikirkan penanaman teologi dan pentingnya dialog dalam pergaulan di era global yang tidak dapat dihindari ini.
Nilai-nilai Kehidupan Jemaat di Bali
Adapun nilai- nilai karakter yang terdapat dalam perjuangan mempertahankan Jemaat Kristen di Bali yang dapat dipakai sebagai sumber belajar sejarah sebagai berikut:
Nilai Keberanian, Berani dapat diartikan mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan tidak takut atau gentar. Keberanian adalah sikap yang berani terhadap apapun atau tidak takut terhadap apapun atau keadaan sifat-sifat berani dan kegagahan.
Nilai Solidaritas, Solidaritas merupakan suatu sikap yang mengutamakan kepentingan bersama dan mengharuskan setiap anggota dalam suatu organisasi supaya selalu menjaga kebersamaan di tengah ancaman ketidakharmonisan yang bisa datang dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut. Solidaritas adalah sifat satu rasa, senasib, dan perasaan setia kawan.
Nilai Religius, Nilai religius yang dapat dilihat dari pembanguanan Gereja Pniel di Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana yaitu adanya pemuka agama Kristen yang tidak pantang menyerah untuk menyebarkan ijil di Pulau Bali, percaya akan kekuatan Allah. Dengan adanya Agama Kristen di Pulau Bali terjadinya alkulturasi kebudayaan dimana dapat dilihat dari bangunan Gereja Pniel, kebudayaan yang terlahir dari segala aktivitas manusia yang didalamnya terkandung nilai- nilai yang amat penting bagi masyarakat.
Cinta Damai, Dalam perjuangan Jemaat Kristen yang ingin dicapai adalah kedamaian, tidak hanya kedamaian tetapi juga kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat, begitupun dalam perjuangan Jemaat Kristen di Desa Blimbingsari. Dalam setiap perjuangan Jemaat Kristen tidak hanya mementingkan apa yang ingin dicapai akan tetapi yang paling penting adalah memahami nilai- nilai yang terdapat dalam Jemaat Kristen tersebut seperti halnya dalam perjuangan hak beragama.
Tanggung Jawab, dalam perjuangan kegamaan nilai tanggung jawab sangat penting untuk ditanamkan dalam setiap perjuangannya seperi halnya nilai tanggung jawab yang merupakan nilai karakter yang menekankan pada sikap dan prilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan terhadap dirinya sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun nilai- nilai karakter yang terdapat dalam perjuangan mempertahankan Jemaat Kristen di Bali yang dapat dipakai sebagai sumber belajar sejarah sebagai berikut:
Nilai Keberanian, Berani dapat diartikan mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan tidak takut atau gentar. Keberanian adalah sikap yang berani terhadap apapun atau tidak takut terhadap apapun atau keadaan sifat-sifat berani dan kegagahan.
Nilai Solidaritas, Solidaritas merupakan suatu sikap yang mengutamakan kepentingan bersama dan mengharuskan setiap anggota dalam suatu organisasi supaya selalu menjaga kebersamaan di tengah ancaman ketidakharmonisan yang bisa datang dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut. Solidaritas adalah sifat satu rasa, senasib, dan perasaan setia kawan.
Nilai Religius, Nilai religius yang dapat dilihat dari pembanguanan Gereja Pniel di Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana yaitu adanya pemuka agama Kristen yang tidak pantang menyerah untuk menyebarkan ijil di Pulau Bali, percaya akan kekuatan Allah. Dengan adanya Agama Kristen di Pulau Bali terjadinya alkulturasi kebudayaan dimana dapat dilihat dari bangunan Gereja Pniel, kebudayaan yang terlahir dari segala aktivitas manusia yang didalamnya terkandung nilai- nilai yang amat penting bagi masyarakat.
Cinta Damai, Dalam perjuangan Jemaat Kristen yang ingin dicapai adalah kedamaian, tidak hanya kedamaian tetapi juga kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat, begitupun dalam perjuangan Jemaat Kristen di Desa Blimbingsari. Dalam setiap perjuangan Jemaat Kristen tidak hanya mementingkan apa yang ingin dicapai akan tetapi yang paling penting adalah memahami nilai- nilai yang terdapat dalam Jemaat Kristen tersebut seperti halnya dalam perjuangan hak beragama.
Tanggung Jawab, dalam perjuangan kegamaan nilai tanggung jawab sangat penting untuk ditanamkan dalam setiap perjuangannya seperi halnya nilai tanggung jawab yang merupakan nilai karakter yang menekankan pada sikap dan prilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan terhadap dirinya sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
REFLEKSI DAN KESIMPULAN
Pekabaran Injil yang Bali, merupakan pekabaran Injil yang paling sulit dan penuh tantangan. PI di Bali dapat dikatakan sebagai pI tersulit sepanjang sejarah pI di Indonesia. Kesulitan dirasakan karena Pulau Bali adalah pulau yang tertutup dari pemahaman dan kepercayaan dari luar pulaunya. Maka dari itu, badan zending yang mau mengabarkan Injil menjadi sulit menembus. Walaupun demikian, tidak semua masyarakat Bali kolot dan kaku dalam penerimaan itu. Setelah melewati pergumulan yang lumayan panjang, Kabar Baik pun tersebar di Bali dan gerejanya pun berdiri sendiri dengan nama Gereja Kristen Protestan Bali.
Melihat karya zending yang dilakukan di Bali, ada hal menarik yang dapat dipelajari. Di setiap daerah pekabaran, para zending dan zendeling melibatkan warga setempat dengan baik. Terlebih lagi, banyak orang-orang di daerah setempat yang menjadi pekabar Injil di wilayahnya. Selain itu, pekabaran Injil yang dilakukan lebih kepada penyebaran interkultural, yakni penggunaan unsur-unsur budaya setempat sebagai sarana pekabaran. Karya zending lainnya yang berharga adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, sehingga memudahkan terjadinya pekabaran Injil dan berguna bagi pemahaman akan Kebenaran itu sendiri.
Pekabaran Injil yang Bali, merupakan pekabaran Injil yang paling sulit dan penuh tantangan. PI di Bali dapat dikatakan sebagai pI tersulit sepanjang sejarah pI di Indonesia. Kesulitan dirasakan karena Pulau Bali adalah pulau yang tertutup dari pemahaman dan kepercayaan dari luar pulaunya. Maka dari itu, badan zending yang mau mengabarkan Injil menjadi sulit menembus. Walaupun demikian, tidak semua masyarakat Bali kolot dan kaku dalam penerimaan itu. Setelah melewati pergumulan yang lumayan panjang, Kabar Baik pun tersebar di Bali dan gerejanya pun berdiri sendiri dengan nama Gereja Kristen Protestan Bali.
Melihat karya zending yang dilakukan di Bali, ada hal menarik yang dapat dipelajari. Di setiap daerah pekabaran, para zending dan zendeling melibatkan warga setempat dengan baik. Terlebih lagi, banyak orang-orang di daerah setempat yang menjadi pekabar Injil di wilayahnya. Selain itu, pekabaran Injil yang dilakukan lebih kepada penyebaran interkultural, yakni penggunaan unsur-unsur budaya setempat sebagai sarana pekabaran. Karya zending lainnya yang berharga adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, sehingga memudahkan terjadinya pekabaran Injil dan berguna bagi pemahaman akan Kebenaran itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar